The Green School

The Green School
Jl. Jatiluhur Bloh H/4 Komplek Baranang Siang Indah

Selasa, 27 April 2010

Pembuatan Poliploidi melalui Fusi Protoplas

Pembuahan adalah suatu proses fusi protoplasma secara alamiah pada tanaman dimana terjadi penyatuan gamet jantan (sub protoplasma) dengan gamet betina (protoplasma) (Wattimena dan Mattjik, 1992). Fenomena ini yang dipakai dan dikembangkan untuk mendapatkan suatu hibrida somatik melalui teknik fusi protoplas.
Keuntungan hibridisasi somatik, selain dapat mentransfer gen-gen yang belum teridentifikasi, juga dapat memodifikasi atau memperbaiki sifat-sifat yang diturunkan secara monogenik dan poligenik antara galur atau spesies (Millam, Payne dan Mackay, 1995; Waara dan Glimelius, 1995). Keuntungan fusi protoplas yang lain adalah diperoleh kombinasi sifat baru yang merupakan kombinasi sitoplasma, karena sitoplasma pada perkawinan seksual hanya berasal dari tetua betina saja (Wattimena dan Mattjik, 1992).
Hibrida somatik yang diperoleh oleh Richard et al., (1994b) mempunyai sejumlah besar variasi terutama karakter morfologi. Ditemukan bahwa hibrida yang berasal dari fusi protoplas menunjukkan perbedaan dalam taraf ploidi, morfologi, fertilitas dan kombinasi sitoplasma. Sumber variabilitas dari aspek biologi fusi protoplas yaitu (1) proses fusi tidak dapat dikontrol dan banyak, (2) perkembangan lanjut produk fusi ke mikro koloni atau kalus dan diregenerasi menjadi tunas menunjukkan variasi yang tidak dapat dikontrol, (3) pencampuran organel-organel dari dua sel dalam suatu heterokarion belum dipahami.
Hasil penelitian Hetharie (2000), terhadap beberapa klon hibrida somatik tanaman kentang hasil hibridisasi somatik intraspesies dan interspesies menunjukkan bahwa 1) Hibrida somatik interspesies lebih jagur yang ditampakkan melalui morfologi dan hasil umbi dibandingi hibrida intraspesies, 2) penampakkan tanaman dan umbi dari hibrida somatik interspesies heksaploid lebih kecil dibanding tetraploid, 3) hibrida somatik tetraploid dari tetua yang sama (S. tuberosum dan S. phureja) menunjukkan penampilan yang berbeda




Konstitusi Genetik Poliploidi
Poliploidi mengalami diploidisasi genetik sehingga gen-gennya ada empat atau enam dosis yang dapat memberi fungsi baru. Ditemukan besarnya variabilitas genetik potensial pada poliploidi sejalan dengan penambahan jumlah gen yang menghasilkan genotip-genotip baru. Genotip ini menampilkan adaptasi poliploidi lebih luas dan cocok pada habitat yang baru (Sareen et al., 1992).
Diantara berbagai efek poliploidi ada empat arti dalam bidang pertanian, yaitu : (1) setiap perubahan pada jumlah kromosom akan merubah segregasi genetik, (2) setiap penambahan jumlah kromosom akan memberikan suatu efek penutup yang mengurangi gen-gen resesif yang merugikan, (3) penambahan jumlah kromosom hampir selalu sering menunjukkan keunggulan sifat, (4) sterilitas pada gamet dan penurunan daya perkembangbiakan merupakan akibat dari poliploidi (Brewbaker, 1983).
Penambahan jumlah kromosom membentuk poliploidi membawa kompleksitas terhadap rasio genetik. Jika suatu ekspresi suatu gen seperti hukum Mendel dengan asumsi ada alel A dan a maka pada organisme diploid diperoleh dua genotip homosigot (AA dan aa) dan hanya satu genotip heterosigot (Aa). Kasus pada autotetraploid diperoleh dua genotip homosigot (AAAA dan aaaa) tetapi dengan tiga genotip heterosigot (AAAa, AAaa, dan Aaaa). Tiap genotip heterosigot ini pada generasi lanjut akan menghasilkan beberapa kombinasi genotip. Contoh genotip AAaa diperoleh ratio genotip 1AAAA : 8AAAa : 18AAaa : 8Aaaa : 1aaaa. Jika ada dominansi sempurna maka genotip homosigot dominan dan heterosigot mempunyai fenotip sama.
Taraf heterosigositas pada autotetraploid dipengaruhi perbedaan empat alel dalam satu lokus. Ada lima kemungkinan kondisi alelik pada satu lokus autotetraploid yaitu 1) lokus monoalelik : a1a1a1a1, 2) lokus dialelik unbalance : a1a1a1a2, 3) lokus dialelik balance : a1a1a2a2, 4) lokus trialelik : a1a1a2a3, 5) lokus tetraalelik : a1a2a3a4. Muncul hipotesis bahwa kondisi tetraalelik memberikan heterosis maksimum karena banyak interaksi interlokus yang mungkin pada kondisi ini membentuk lokus heterosigot dibanding kondisi alelik yang lain (Poehlman dan Sleper, 1995).
Jika diasumsikan adanya dominan sempurna dari satu alel terhadap alel a maka hanya ada satu hubungan yang mungkin antara alel dari lokus gen tetraploid. Contoh genotip FFFF pada tanaman Cyclamen mengekspresikan bunga tidak berwarna. Dengan bertambahnya jumlah alel f, warna merah lebih intensif yaitu genotip FFFf berfenotip merah pucat, FFff merah muda, Ffff merah. Kejadian ini disebut sebagai akibat efek dosis alel dan merupakan suatu fenomena yang menguntungkan dalam pemuliaan poliploidi (Kuckuck et al., 1991).
Penampakan suatu tetraploid ditentukan oleh konstitusi genetik dari tipe diploidnya dan nilai tetraploid dapat ditingkatkan melalui rekombinasi dan seleksi (Kuckuck et al., 1991). Contoh gen F meningkatkan resistensi terhadap frost 1oC dan gen H sebagai inhibitor. Gen H dapat diimbangi dengan penambahan gen F sedangkan alel f dan h tidak efektif. Khusus genotip diploid FFhh resistensi terhadap frost - 2oC, genotip autotetraploid FFFFhhhh resistensi meningkat sampai suhu - 4oC. Sebaliknya genotip diploid FFHH dan FfHh resistensi frost hanya pada suhu 0oC, demikian juga pada genotip autotetraploid. Tetapi jika melalui rekombinasi dan seleksi khusus untuk genotip FFffHHhh dapat diperoleh generasi bergenotip FFFFhhhh yang resistensi pada suhu - 4oC (Kuckuck et al., 1991).
Poliploidi yang memiliki dua atau lebih genom berbeda disebut allopoliploid dengan konstitusi genom seperti AABB atau A1A1A2A2. Karakteristik struktur gen dari spesies allopoliploid yaitu ada satu genom tetua dan satu atau dua genom dari tetua lain yang berasal dari hibridisasi. Adanya genotip berbeda yang berasal dari genom berbeda menyebabkan terjadi pertukaran material genetik dan membentuk genom campuran.
Allopoliploid menunjukkan heterosis parmanen yang diakibatkan dari interaksi gen loci tertentu dalam genom berbeda (Feldman dan Sears, 1981). Menurut Brewbaker (1981) kejaguran hibrida (heterosis) lebih nyata pada persilangan antara tanaman yang jauh hubungan kerabatnya dibanding antara tanaman berkerabat dekat.
Hasil penelitian awal pemuliaan tanaman menunjukkan bahwa diantara taraf ploidi yang berbeda, didapatkan bahwa tiap spesies mempunyai taraf ploidi optimum tertentu. Contoh pada bit gula dimana jumlah ploidi optimumnya adalah tetraploid. Penelitian Hetharie (2000) menunjukkan bahwa taraf ploidi optimum pada hibrida somatik kentang dari tetua S. tuberosum adalah 4x (Gambar 1). Penambahan jumlah kromosom yang melebihi jumlah optimum tersebut akan menyebabkan gangguan fisiologi ke arah negatif (Karmana, 1989).

Kesimpulan
• Pemuliaan poliploidi dapat memperbaiki sifat tanaman dan menambah kejaguran
• Tanaman poliploidi mempunyai penampilan morfologi meliputi daun, bunga, batang, umbi lebih jagur atau vigor dibanding tanaman diploid
• Perakitan tanaman poliploidi melalui persilangan seksual atau persilangan somatik dapat mentransfer sifat-sifat penting yang diinginkan dari tetua
• Tanaman poliploidi berupa autopoliploid maupun allopoliploid dapat dihasilkan melalui persilangan seksual, persilangan somatik dan diinduksi dengan zat-zat kimia
• Setiap spesies tanaman mempunyai jumlah kromosom optimum untuk penampakkan kejaguran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar