The Green School

The Green School
Jl. Jatiluhur Bloh H/4 Komplek Baranang Siang Indah

Rabu, 28 April 2010

KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM DI INDONESIA (BAGIAN 2)

24. Kesultanan Siak Sri Inderapura
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari


Potret Sultan Siak dan istrinya (1910-1939)
Kesultanan Siak Sri Inderapura atau sering disebut sebagai Kesultanan Siak saja adalah kerajaan yang berdiri tahun 1723-1946 di daerah Provinsi Riau sekarang, tepatnya di Kabupaten Siak. Ibukotanya adalah Siak Sri Indrapura.
Kerajaan ini didirikan di Buantan oleh Raja Kecik, putra kerajaan Pagaruyung yang bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah pada tahun 1723, setelah gagal merebut tahta Kesultanan Johor.
Setelah proklamasi kemerdekaan raja Siak terakhir Sultan Syarif Kasim II menyatakan kerajaannya bergabung dengan Republik Indonesia yang baru berdiri.
Daftar Sultan Siak


Upacara penobatan Sultan Siak di tahun 1899
Berikut adalah daftar sultan-sultan Kerajaan Siak Sri Indrapura.
1. Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah I (1725-1746)
2. Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah II (1746-1765)
3. Sultan Abdul Jalil Jalaluddin Syah (1765-1766)
4. Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah (1766-1780)
5. Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah (1780-1782)
6. Sultan Yahya Abdul Jalil Muzaffar Syah (17821784)
7. Sultan Assaidis Asyarif Ali Abdul Jalil Syaifuddin Baalawi (1784-1810)
8. Sultan Asyaidis Syarif Ibrahim Abdul Jalil Khaliluddin (1810-1815)
9. Sultan Assyaidis Syarif Ismail Abdul Jalil Jalaluddin (1815-1854)
10. Sultan Assyaidis Syarif Kasyim Abdul Jalil Syaifuddin I (Syarif Kasyim I, 1864-1889)
11. Sultan Assyaidis Syarif Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin (1889-1908)
12. Sultan Assyaidis Syarif Kasyim Abdul Jalif Syaifudin I (Syarif Kasyim II), (1915-1949)
25. Kerajaan Tanjungpura
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Untuk kegunaan lain dari Tanjungpura, lihat Tanjungpura.
Kerajaan Tanjungpura merupakan kerajaan tertua di Kalimantan Barat. Kerajaan yang terletak di Kabupaten Ketapang ini pada abad ke-14 menjadi bukti bahwa peradaban negeri Tanah Kayong sudah cukup maju pada masa lampau. Tanjungpura pernah menjadi provinsi Kerajaan Singhasari sebagai Bakulapura. Nama bakula berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti tumbuhan tanjung (Mimusops elengi), sehingga setelah dimelayukan menjadi Tanjungpura. Wilayah kekuasaan Tanjungpura membentang dari Tanjung Dato (Sambas) sampai Tanjung Puting, yaitu mencakup sebagian wilayah propinsi Kalimantan Barat dan sebagian wilayah Kalimantan Tengah sekarang.
Kemudian Tanjungpura menjadi sebuah propinsi Majapahit, kemungkinan nama Tanjungpura sudah menjadi umum untuk sebutan pulau Kalimantan. Selepas mangkatnya Gajah Mada kemungkinan ibukota pulau Tanjungpura berada di Kalimantan Selatan sebagai pangkalan yang lebih strategis untuk menguasai wilayah lebih luas lagi. Menurut Hikayat Banjar, kerajaan di Kalimantan Selatan saat itu yaitu Negara Dipa sudah memiliki pengaruh luas membentang dari Kerajaan Sambas hingga Karasikan (Kerajaan Tidung) di perbatasan Kalimantan Timur-Sabah dengan rajanya seorang dara ketika ia mulai memerintah yaitu Putri Junjung Buih/Raden Galuh Ciptasari/Putri Ratna Janggala-Kadiri. Putri Junjung Buih (= Bhre Tanjungpura I?) digantikan oleh puteranya yang urutan ke-3 bernama Pangeran Aria Dewangsa (= Bhre Tanjungpura II?). Raden Sekar Sungsang putera Pangeran Aria Dewangsa (= Bhre Tanjungpura III?) memindahkan ibukota ke hilir dengan nama Kerajaan Negara Daha. Menurut Tutur Candi (Hikayat Banjar versi II), ketika merantau ke Giri, Raden Sekar Sungsang mulai mengenal agama Islam dan menjadi besan Sunan Giri kemudian ia mendapat gelar Panji Agung Rama Nata. Menurut Pararaton, Bhre Tanjungpura adalah anak Bhre Tumapel II (abangnya Suhita). Bhre Tanjungpura bernama Manggalawardhani Dyah Suragharini yang berkuasa 1429-1464, dia menantu Bhre Tumapel III Kertawijaya. Kemudian dalam Prasasti Trailokyapuri disebutkan Manggalawardhani Dyah Suragharini menjabat Bhre Daha VI (1464-1474). Di dalam mandala Majapahit, Ratu Majapahit merupakan prasada, sedangkan Mahapatih Gajahmada sebagai pranala, sedangkan Madura dan Tanjungpura sebagai ansa-nya.
Perpindahan ibukota kerajaan
Ibukota kerajaan beberapa kali mengalami perpindahan dari satu kota ke kota lainnya. Perpindahan ini karena adanya musuh atau perompak bajak laut yang dikenal juga dengan "Lanon". Konon menurut cerita bajak laut tersebut sungguh ganas, sehingga merajalela di seluruh pelosok daerah. Kerajaan Tanjungpura yang juga dikenal sebagai kerajaan besar juga menjadi incaran kerajaan lain yang bernafsu untuk menaklukannnya, oleh karena itu berpindah pindah adalah dalam rangka mempertahankan diri.
Berpindahnya ibukota kerajaan dari satu tempat ketempat lainnya dibuktikan dengan adanya situs sejarah yang bertebaran di bekas ibukota kerajaan tersebut.
Perpindahan ibukota Kerajaan Sukadana
Menurut Catatan Gusti Iswadi, S.sos dalam buku Pesona Tanah Kayong, Kerajaan Tanjungpura dalam perspektif sejarah disebutkan, bahwa, dari negeri baru kerajaan Tanjungpura berpindah ke Sukadana sehingga disebut Kerajaan Sukadana, kemudian pindah lagi Ke Sungai Matan (sekarang Kec. Simpang Hilir). Dan semasa pemerintahan Raja Muhamamad Zainudin sekitar tahun 1637 pindah lagi ke Indra Laya sehingga disebut Kerajaan Indralaya. Indra Laya adalah nama dari satu tempat di Sungai Puye anak Sungai Pawan Kecamatan Sandai. Kemudian disebut Kerajaan Kartapura karena pindah lagi ke Karta Pura di desa Tanah Merah, Kec. Nanga Tayap, kemudian baru ke Desa Tanjungpura sekarang (Kecamatan Muara Pawan) dan terakhir pindah lagi ke Muliakarta di Keraton Muhammad Saunan yang ada sekarang yang terakhir sebagai pusat pemerintahan swapraja.
Bukti adanya sisa kerajaan ini dapat dilihat dengan adanya makam tua di kota-kota tersebut, yang merupakan saksi bisu sisa kerajaan Tanjungpura dahulu. Untuk memelihara peninggalan ini pemerintah Kabupaten Ketapang telah mengadakan pemugaran dan pemeliharaan di tempat peninggalan kerajaan tersebut. Tujuannya agar genarasi muda dapat mempelajari kejayaan kerajaan tanjungpura di masa lampau.
Kerajaan Indralaya
Di Kecamatan Sandai bukti adanya kerajaan Indralaya, dengan ditemukannya makam raja yang berada di sebuah bukit di Kota Sandai. Menurut warga setempat, makam raja ini sudah sejak lama ada entah sejak kapan. Beberapa tokoh kerajaan Tanjungpura dari Indralaya ini dimakamkan disini. Memang tidak bisa diketahui secara pasti nama-namanya karena makam kuno tersebut sudah begitu tua sehingga tulisan yang ada di makam tersebut sulit dibaca. Konon ibu dari Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie raja Kesultanan Pontianak juga dimakamkan di tempat ini. Makam kuno peninggalan kerajaan Tanjungpura juga terdapat di sungai Muara kayong, juga di Sei Kelik kecamatan Nanga Tayab, yang diduga disebut sebagai negeri Kartapura.
Penggunaan nama kerajaan
Saat ini nama kerajaan ini diabadikan sebagai nama universitas negeri di Kalimantan Barat yaitu Universitas Tanjungpura di Pontianak, dan juga digunakan oleh TNI Angkatan Darat sebagai nama Kodam di Kalimantan yaitu Kodam VI/Tanjungpura
26. Kesultanan Ternate
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Istana Sultan Ternate di tahun 1930-an
Kerajaan Gapi atau yang kemudian lebih dikenal sebagai Kesultanan Ternate (mengikuti nama ibukotanya) adalah salah satu dari 4 kerajaan Islam di Maluku dan merupakan salah satu kerajaan Islam tertua di nusantara. Didirikan oleh Baab Mashur Malamo pada 1257. Kesultanan Ternate memiliki peran penting di kawasan timur nusantara antara abad ke-13 hingga abad ke-17. Kesultanan Ternate menikmati kegemilangan di paruh abad ke -16 berkat perdagangan rempah-rempah dan kekuatan militernya. Di masa jaya kekuasaannya membentang mencakup wilayah Maluku, Sulawesi utara, timur dan tengah, bagian selatan kepulauan Filipina hingga sejauh kepulauan Marshall di pasifik.
Asal Usul
Pulau Gapi (kini Ternate) mulai ramai di awal abad ke-13, penduduk Ternate awal merupakan warga eksodus dari Halmahera. Awalnya di Ternate terdapat 4 kampung yang masing - masing dikepalai oleh seorang momole (kepala marga), merekalah yang pertama – tama mengadakan hubungan dengan para pedagang yang datang dari segala penjuru mencari rempah – rempah. Penduduk Ternate semakin heterogen dengan bermukimnya pedagang Arab, Jawa, Melayu dan Tionghoa. Oleh karena aktivitas perdagangan yang semakin ramai ditambah ancaman yang sering datang dari para perompak maka atas prakarsa momole Guna pemimpin Tobona diadakan musyawarah untuk membentuk suatu organisasi yang lebih kuat dan mengangkat seorang pemimpin tunggal sebagai raja.
Tahun 1257 momole Ciko pemimpin Sampalu terpilih dan diangkat sebagai Kolano (raja) pertama dengan gelar Baab Mashur Malamo (1257-1272). Kerajaan Gapi berpusat di kampung Ternate, yang dalam perkembangan selanjutnya semakin besar dan ramai sehingga oleh penduduk disebut juga sebagai “Gam Lamo” atau kampung besar (belakangan orang menyebut Gam Lamo dengan Gamalama). Semakin besar dan populernya Kota Ternate, sehingga kemudian orang lebih suka mengatakan kerajaan Ternate daripada kerajaan Gapi. Di bawah pimpinan beberapa generasi penguasa berikutnya, Ternate berkembang dari sebuah kerajaan yang hanya berwilayahkan sebuah pulau kecil menjadi kerajaan yang berpengaruh dan terbesar di bagian timur Indonesia khususnya Maluku.
Organisasi kerajaan
Di masa – masa awal suku Ternate dipimpin oleh para momole. Setelah membentuk kerajaan jabatan pimpinan dipegang seorang raja yang disebut Kolano. Mulai pertengahan abad ke-15, Islam diadopsi secara total oleh kerajaan dan penerapan syariat Islam diberlakukan. Sultan Zainal Abidin meninggalkan gelar Kolano dan menggantinya dengan gelar Sultan. Para ulama menjadi figur penting dalam kerajaan.
Setelah Sultan sebagai pemimpin tertinggi, ada jabatan Jogugu (perdana menteri) dan Fala Raha sebagai para penasihat. Fala Raha atau Empat Rumah adalah empat klan bangsawan yang menjadi tulang punggung kesultanan sebagai representasi para momole di masa lalu, masing – masing dikepalai seorang Kimalaha. Mereka antara lain ; Marasaoli, Tomagola, Tomaito dan Tamadi. Pejabat – pejabat tinggi kesultanan umumnya berasal dari klan – klan ini. Bila seorang sultan tak memiliki pewaris maka penerusnya dipilih dari salah satu klan. Selanjutnya ada jabatan – jabatan lain Bobato Nyagimoi se Tufkange (Dewan 18), Sabua Raha, Kapita Lau, Salahakan, Sangaji dll. Untuk lebih jelasnya lihat Struktur organisasi kesultanan Ternate.
Moloku Kie Raha
Selain Ternate, di Maluku juga terdapat paling tidak 5 kerajaan lain yang memiliki pengaruh. Tidore, Jailolo, Bacan, Obi dan Loloda. Kerajaan – kerajaan ini merupakan saingan Ternate memperebutkan hegemoni di Maluku. Berkat perdagangan rempah Ternate menikmati pertumbuhan ekonomi yang mengesankan, dan untuk memperkuat hegemoninya di Maluku Ternate mulai melakukan ekspansi. Hal ini menimbulkan antipati dan memperbesar kecemburuan kerajaan lain di Maluku, mereka memandang Ternate sebagai musuh bersama hingga memicu terjadinya perang. Demi menghentikan konflik yang berlarut – larut, raja Ternate ke-7 Kolano Cili Aiya atau disebut juga Kolano Sida Arif Malamo (1322-1331) mengundang raja – raja Maluku yang lain untuk berdamai dan bermusyawarah membentuk persekutuan. Persekutuan ini kemudian dikenal sebagai Persekutan Moti atau Motir Verbond. Butir penting dari pertemuan ini selain terjalinnya persekutuan adalah penyeragaman bentuk kelembagaan kerajaan di Maluku. Oleh karena pertemuan ini dihadiri 4 raja Maluku yang terkuat maka disebut juga sebagai persekutuan Moloku Kie Raha (Empat Gunung Maluku).
Kedatangan Islam
Tak ada sumber yang jelas mengenai kapan awal kedatangan Islam di Maluku khususnya Ternate. Namun diperkirakan sejak awal berdirinya kerajaan Ternate masyarakat Ternate telah mengenal Islam mengingat banyaknya pedagang Arab yang telah bermukim di Ternate kala itu. Beberapa raja awal Ternate sudah menggunakan nama bernuansa Islam namun kepastian mereka maupun keluarga kerajaan memeluk Islam masih diperdebatkan. Hanya dapat dipastikan bahwa keluarga kerajaan Ternate resmi memeluk Islam pertengahan abad ke-15.
Kolano Marhum (1465-1486), penguasa Ternate ke-18 adalah raja pertama yang diketahui memeluk Islam bersama seluruh kerabat dan pejabat istana. Pengganti Kolano Marhum adalah puteranya, Zainal Abidin (1486-1500). Beberapa langkah yang diambil Sultan Zainal Abidin adalah meninggalkan gelar Kolano dan menggantinya dengan Sultan, Islam diakui sebagai agama resmi kerajaan, syariat Islam diberlakukan, membentuk lembaga kerajaan sesuai hukum Islam dengan melibatkan para ulama. Langkah-langkahnya ini kemudian diikuti kerajaan lain di Maluku secara total, hampir tanpa perubahan. Ia juga mendirikan madrasah yang pertama di Ternate. Sultan Zainal Abidin pernah memperdalam ajaran Islam dengan berguru pada Sunan Giri di pulau Jawa, disana beliau dikenal sebagai "Sultan Bualawa" (Sultan Cengkih).
Kedatangan Portugis dan perang saudara
Di masa pemerintahan Sultan Bayanullah (1500-1521), Ternate semakin berkembang, rakyatnya diwajibkan berpakaian secara islami, teknik pembuatan perahu dan senjata yang diperoleh dari orang Arab dan Turki digunakan untuk memperkuat pasukan Ternate. Di masa ini pula datang orang Eropa pertama di Maluku, Loedwijk de Bartomo (Ludovico Varthema) tahun 1506. Tahun 1512 Portugis untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di Ternate dibawah pimpinan Fransisco Serrao, atas persetujuan Sultan, Portugis diizinkan mendirikan pos dagang di Ternate. Portugis datang bukan semata – mata untuk berdagang melainkan untuk menguasai perdagangan rempah – rempah Pala dan Cengkih di Maluku. Untuk itu terlebih dulu mereka harus menaklukkan Ternate. Sultan Bayanullah wafat meninggalkan pewaris - pewaris yang masih sangat belia. Janda sultan, permaisuri Nukila dan Pangeran Taruwese, adik almarhum sultan bertindak sebagai wali. Permaisuri Nukila yang asal Tidore bermaksud menyatukan Ternate dan Tidore dibawah satu mahkota yakni salah satu dari kedua puteranya, pangeran Hidayat (kelak Sultan Dayalu) dan pangeran Abu Hayat (kelak Sultan Abu Hayat II). Sementara pangeran Tarruwese menginginkan tahta bagi dirinya sendiri. Portugis memanfaatkan kesempatan ini dan mengadu domba keduanya hingga pecah perang saudara. Kubu permaisuri Nukila didukung Tidore sedangkan pangeran Taruwese didukung Portugis. Setelah meraih kemenangan pangeran Taruwese justru dikhianati dan dibunuh Portugis. Gubernur Portugis bertindak sebagai penasihat kerajaan dan dengan pengaruh yang dimiliki berhasil membujuk dewan kerajaan untuk mengangkat pangeran Tabariji sebagai sultan. Tetapi ketika Sultan Tabariji mulai menunjukkan sikap bermusuhan, ia difitnah dan dibuang ke Goa – India. Disana ia dipaksa Portugis untuk menandatangani perjanjian menjadikan Ternate sebagai kerajaan Kristen dan vasal kerajaan Portugis, namun perjanjian itu ditolak mentah-mentah Sultan Khairun (1534-1570).
Pengusiran Portugis
Perlakuan Portugis terhadap saudara – saudaranya membuat Sultan Khairun geram dan bertekad mengusir Portugis dari Maluku. Tindak – tanduk bangsa barat yang satu ini juga menimbulkan kemarahan rakyat yang akhirnya berdiri di belakang sultan Khairun. Sejak masa sultan Bayanullah, Ternate telah menjadi salah satu dari tiga kesultanan terkuat dan pusat Islam utama di Nusantara abad ke-16 selain Aceh dan Demak setelah kejatuhan kesultanan Malaka tahun 1511. Ketiganya membentuk Tripple Alliance untuk membendung sepak terjang Portugis di Nusantara.
Tak ingin menjadi Malaka kedua, sultan Khairun mengobarkan perang pengusiran Portugis. Kedudukan Portugis kala itu sudah sangat kuat, selain memiliki benteng dan kantong kekuatan di seluruh Maluku mereka juga memiliki sekutu – sekutu suku pribumi yang bisa dikerahkan untuk menghadang Ternate. Dengan adanya Aceh dan Demak yang terus mengancam kedudukan Portugis di Malaka, Portugis di Maluku kesulitan mendapat bala bantuan hingga terpaksa memohon damai kepada sultan Khairun. Secara licik Gubernur Portugis, Lopez de Mesquita mengundang Sultan Khairun ke meja perundingan dan akhirnya dengan kejam membunuh Sultan yang datang tanpa pengawalnya. Pembunuhan Sultan Khairun semakin mendorong rakyat Ternate untuk menyingkirkan Portugis, bahkan seluruh Maluku kini mendukung kepemimpinan dan perjuangan Sultan Baabullah (1570-1583), pos-pos Portugis di seluruh Maluku dan wilayah timur Indonesia digempur, setelah peperangan selama 5 tahun, akhirnya Portugis meninggalkan Maluku untuk selamanya tahun 1575. Kemenangan rakyat Ternate ini merupakan kemenangan pertama putera-putera nusantara atas kekuatan barat. Dibawah pimpinan Sultan Baabullah, Ternate mencapai puncak kejayaan, wilayah membentang dari Sulawesi Utara dan Tengah di bagian barat hingga kepulauan Marshall dibagian timur, dari Philipina (Selatan) dibagian utara hingga kepulauan Nusa Tenggara dibagian selatan. Sultan Baabullah dijuluki “penguasa 72 pulau” yang semuanya berpenghuni (sejarawan Belanda, Valentijn menuturkan secara rinci nama-nama ke-72 pulau tersebut) hingga menjadikan kesultanan Ternate sebagai kerajaan islam terbesar di Indonesia timur, disamping Aceh dan Demak yang menguasai wilayah barat dan tengah nusantara kala itu. Periode keemasaan tiga kesultanan ini selama abad 14 dan 15 entah sengaja atau tidak dikesampingkan dalam sejarah bangsa ini padahal mereka adalah pilar pertama yang membendung kolonialisme barat.
Kedatangan Belanda
Sepeninggal Sultan Baabullah Ternate mulai melemah, Spanyol yang telah bersatu dengan Portugis tahun 1580 mencoba menguasai kembali Maluku dengan menyerang Ternate. Dengan kekuatan baru Spanyol memperkuat kedudukannya di Filipina, Ternate pun menjalin aliansi dengan Mindanao untuk menghalau Spanyol namun gagal bahkan sultan Said Barakati berhasil ditawan Spanyol dan dibuang ke Manila. Kekalahan demi kekalahan yang diderita memaksa Ternate meminta bantuan Belanda tahun 1603. Ternate akhirnya sukses menahan Spanyol namun dengan imbalan yang amat mahal. Belanda akhirnya secara perlahan-lahan menguasai Ternate, tanggal 26 Juni 1607 Sultan Ternate menandatangani kontrak monopoli VOC di Maluku sebagai imbalan bantuan Belanda melawan Spanyol. Di tahun 1607 pula Belanda membangun benteng Oranje di Ternate yang merupakan benteng pertama mereka di nusantara.
Sejak awal hubungan yang tidak sehat dan tidak seimbang antara Belanda dan Ternate menimbulkan ketidakpuasan para penguasa dan bangsawan Ternate. Diantaranya adalah pangeran Hidayat (15?? - 1624), Raja muda Ambon yang juga merupakan mantan wali raja Ternate ini memimpin oposisi yang menentang kedudukan sultan dan Belanda. Ia mengabaikan perjanjian monopoli dagang Belanda dengan menjual rempah – rempah kepada pedagang Jawa dan Makassar.
Perlawanan rakyat Maluku dan kejatuhan Ternate
Semakin lama cengkeraman dan pengaruh Belanda pada sultan – sultan Ternate semakin kuat, Belanda dengan leluasa mengeluarkan peraturan yang merugikan rakyat lewat perintah sultan, sikap Belanda yang kurang ajar dan sikap sultan yang cenderung manut menimbulkan kekecewaan semua kalangan. Sepanjang abad ke-17, setidaknya ada 4 pemberontakan yang dikobarkan bangsawan Ternate dan rakyat Maluku.
• Tahun 1635, demi memudahkan pengawasan dan mengatrol harga rempah yang merosot Belanda memutuskan melakukan penebangan besar – besaran pohon cengkeh dan pala di seluruh Maluku atau yang lebih dikenal sebagai Hongi Tochten, akibatnya rakyat mengobarkan perlawanan. Tahun 1641, dipimpin oleh raja muda Ambon Salahakan Luhu, puluhan ribu pasukan gabungan Ternate – Hitu – Makassar menggempur berbagai kedudukan Belanda di Maluku Tengah. Salahakan Luhu kemudian berhasil ditangkap dan dieksekusi mati bersama seluruh keluarganya tanggal 16 Juni 1643. Perjuangan lalu dilanjutkan oleh saudara ipar Luhu, kapita Hitu Kakiali dan Tolukabessi hingga 1646.
• Tahun 1650, para bangsawan Ternate mengobarkan perlawanan di Ternate dan Ambon, pemberontakan ini dipicu sikap Sultan Mandarsyah (1648-1650,1655-1675) yang terlampau akrab dan dianggap cenderung menuruti kemauan Belanda. Para bangsawan berkomplot untuk menurunkan Mandarsyah. Tiga diantara pemberontak yang utama adalah trio pangeran Saidi, Majira dan Kalumata. Pangeran Saidi adalah seorang Kapita Laut atau panglima tertinggi pasukan Ternate, pangeran Majira adalah raja muda Ambon sementara pangeran Kalumata adalah adik sultan Mandarsyah. Saidi dan Majira memimpin pemberontakan di Maluku tengah sementara pangeran Kalumata bergabung dengan raja Gowa sultan Hasanuddin di Makassar. Mereka bahkan sempat berhasil menurunkan sultan Mandarsyah dari tahta dan mengangkat Sultan Manilha (1650–1655) namun berkat bantuan Belanda kedudukan Mandarsyah kembali dipulihkan. Setelah 5 tahun pemberontakan Saidi cs berhasil dipadamkan. Pangeran Saidi disiksa secara kejam hingga mati sementara pangeran Majira dan Kalumata menerima pengampunan Sultan dan hidup dalam pengasingan.
• Sultan Muhammad Nurul Islam atau yang lebih dikenal dengan nama Sultan Sibori (1675 – 1691) merasa gerah dengan tindak – tanduk Belanda yang semena - mena. Ia kemudian menjalin persekutuan dengan Datuk Abdulrahman penguasa Mindanao, namun upayanya untuk menggalang kekuatan kurang maksimal karena daerah – daerah strategis yang bisa diandalkan untuk basis perlawanan terlanjur jatuh ke tangan Belanda oleh berbagai perjanjian yang dibuat para pendahulunya. Ia kalah dan terpaksa menyingkir ke Jailolo. Tanggal 7 Juli 1683 Sultan Sibori terpaksa menandatangani perjanjian yang intinya menjadikan Ternate sebagai kerajaan vazal Belanda. Perjanjian ini mengakhiri masa Ternate sebagai negara berdaulat.
Meski telah kehilangan kekuasaan mereka beberapa Sultan Ternate berikutnya tetap berjuang mengeluarkan Ternate dari cengkeraman Belanda. Dengan kemampuan yang terbatas karena selalu diawasi mereka hanya mampu menyokong perjuangan rakyatnya secara diam – diam. Yang terakhir tahun 1914 Sultan Haji Muhammad Usman Syah (1896-1927) menggerakkan perlawanan rakyat di wilayah – wilayah kekuasaannya, bermula di wilayah Banggai dibawah pimpinan Hairuddin Tomagola namun gagal. Di Jailolo rakyat Tudowongi, Tuwada dan Kao dibawah pimpinan Kapita Banau berhasil menimbulkan kerugian di pihak Belanda, banyak prajurit Belanda yang tewas termasuk Coentroleur Belanda Agerbeek, markas mereka diobrak – abrik. Akan tetapi karena keunggulan militer serta persenjataan yang lebih lengkap dimiliki Belanda perlawanan tersebut berhasil dipatahkan, kapita Banau ditangkap dan dijatuhi hukuman gantung. Sultan Haji Muhammad Usman Syah terbukti terlibat dalam pemberontakan ini oleh karenanya berdasarkan keputusan pemerintah Hindia Belanda, tanggal 23 September 1915 no. 47, sultan Haji Muhammad Usman Syah dicopot dari jabatan sultan dan seluruh hartanya disita, beliau dibuang ke Bandung tahun 1915 dan meninggal disana tahun 1927. Pasca penurunan sultan Haji Muhammad Usman Syah jabatan sultan sempat lowong selama 14 tahun dan pemerintahan adat dijalankan oleh Jogugu serta dewan kesultanan. Sempat muncul keinginan pemerintah Hindia Belanda untuk menghapus kesultanan Ternate namun niat itu urung dilaksanakan karena khawatir akan reaksi keras yang bisa memicu pemberontakan baru sementara Ternate berada jauh dari pusat pemerintahan Belanda di Batavia.
Dalam usianya yang kini memasuki usia ke-750 tahun, Kesultanan Ternate masih tetap bertahan meskipun hanya tinggal simbol belaka. Jabatan sultan sebagai pemimpin Ternate ke-49 kini dipegang oleh sultan Drs. H. Mudaffar Sjah, BcHk. (Mudaffar II) yang dinobatkan tahun 1986.
Warisan Ternate
Imperium nusantara timur yang dipimpin Ternate memang telah runtuh sejak pertengahan abad ke-17 namun pengaruh Ternate sebagai kerajaan dengan sejarah yang panjang masih terus terasa hingga berabad kemudian. Ternate memiliki andil yang sangat besar dalam kebudayaan nusantara bagian timur khususnya Sulawesi (utara dan pesisir timur) dan Maluku. Pengaruh itu mencakup agama, adat istiadat dan bahasa.
Sebagai kerajaan pertama yang memeluk Islam Ternate memiliki peran yang besar dalam upaya pengislaman dan pengenalan syariat-syariat Islam di wilayah timur nusantara dan bagian selatan Filipina. Bentuk organisasi kesultanan serta penerapan syariat Islam yang diperkenalkan pertama kali oleh sultan Zainal Abidin menjadi standar yang diikuti semua kerajaan di Maluku hampir tanpa perubahan yang berarti. Keberhasilan rakyat Ternate dibawah sultan Baabullah dalam mengusir Portugis tahun 1575 merupakan kemenangan pertama pribumi nusantara atas kekuatan barat, oleh karenanya almarhum Buya Hamka bahkan memuji kemenangan rakyat Ternate ini telah menunda penjajahan barat atas bumi nusantara selama 100 tahun sekaligus memperkokoh kedudukan Islam, dan sekiranya rakyat Ternate gagal niscaya wilayah timur Indonesia akan menjadi pusat kristen seperti halnya Filipina.
Kedudukan Ternate sebagai kerajaan yang berpengaruh turut pula mengangkat derajat Bahasa Ternate sebagai bahasa pergaulan di berbagai wilayah yang berada dibawah pengaruhnya. Prof E.K.W. Masinambow dalam tulisannya; “Bahasa Ternate dalam konteks bahasa - bahasa Austronesia dan Non Austronesia” mengemukakan bahwa bahasa Ternate memiliki dampak terbesar terhadap bahasa Melayu yang digunakan masyarakat timur Indonesia. Sebanyak 46% kosakata bahasa Melayu di Manado diambil dari bahasa Ternate. Bahasa Melayu – Ternate ini kini digunakan luas di Indonesia Timur terutama Sulawesi Utara, pesisir timur Sulawesi Tengah dan Selatan, Maluku dan Papua dengan dialek yang berbeda – beda. Dua naskah Melayu tertua di dunia adalah naskah surat sultan Ternate Abu Hayat II kepada Raja Portugal tanggal 27 April dan 8 November 1521 yang saat ini masih tersimpan di museum Lisabon – Portugal.
27. Kesultanan Tidore
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kesultanan Tidore adalah kerajaan Islam yang berpusat di wilayah Kota Tidore, Maluku Utara, Indonesia sekarang. Pada masa kejayaannya (sekitar abad ke-16 sampai abad ke-18), kerajaan ini menguasai sebagian besar Halmahera selatan, Pulau Buru, Ambon, dan banyak pulau-pulau di pesisir Papua barat.
Pada tahun 1521, Sultan Mansur dari Tidore menerima Spanyol sebagai sekutu untuk mengimbangi kekuatan Kesultanan Ternate saingannya yang bersekutu dengan Portugis. Setelah mundurnya Spanyol dari wilayah tersebut pada tahun 1663 karena protes dari pihak Portugis sebagai pelanggaran terhadap Perjanjian Tordesillas 1494, Tidore menjadi salah kerajaan paling independen di wilayah Maluku. Terutama di bawah kepemimpinan Sultan Saifuddin (memerintah 1657-1689), Tidore berhasil menolak pengusaan VOC terhadap wilayahnya dan tetap menjadi daerah merdeka hingga akhir abad ke-18. insyaallah benar
28. Kerajaan Sumedang Larang
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kerajaan Sumedang Larang adalah salah satu kerajaan Islam yang diperkirakan berdiri sejak abad ke-15 Masehi di Jawa Barat, Indonesia. Popularitas kerajaan ini tidak sebesar popularitas kerajaan Demak, Mataram, Banten dan Cirebon dalam literatur sejarah kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Tapi, keberadaan kerajaan ini merupakan bukti sejarah yang sangat kuat pengaruhnya dalam penyebaran Islam di Jawa Barat, sebagaimana yang dilakukan oleh Kerajaan Cirebon dan Kerajaan Banten.
Sejarah
Kerajaan Sumedang Larang (kini Kabupaten Sumedang) adalah salah satu dari berbagai kerajaan Sunda yang ada di provinsi Jawa Barat, Indonesia. Terdapat kerajaan Sunda lainnya seperti Kerajaan Pajajaran yang juga masih berkaitan erat dengan kerajaan sebelumnya yaitu (Kerajaan Sunda-Galuh), namun keberadaan Kerajaan Pajajaran berakhir di wilayah Pakuan, Bogor, karena serangan aliansi kerajaan-kerajaan Cirebon, Banten dan Demak (Jawa Tengah). Sejak itu, Sumedang Larang dianggap menjadi penerus Pajajaran dan menjadi kerajaan yang memiliki otonomi luas untuk menentukan nasibnya sendiri.
No. Masa[1]
Tahun
1 Kerajaan Sumedang Larang 900 - 1601

2 Pemerintahan Mataram II
1601 - 1706

3 Pemerintahan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC)
1706 - 1811

4 Pemerintahan Inggris
1811 - 1816

5 Pemerintahan Belanda / Nederland Oost-Indie
1816 - 1942

6 Pemerintahan Jepang
1942 - 1945

7 Pemerintahan Republik Indonesia
1945 - 1947

8 Pemerintahan Republik Indonesia / Belanda 1947 - 1949

9 Pemerintahan Negara Pasundan
1949 - 1950

10 Pemerintahan Republik Indonesia 1950 - sekarang


Asal-mula nama
Kerajaan Sumedang Larang berasal dari pecahan kerajaan Sunda-Galuh yang beragama Hindu, yang didirikan oleh Prabu Aji Putih atas perintah Prabu Suryadewata sebelum Keraton Galuh dipindahkan ke Pajajaran, Bogor. Seiring dengan perubahan zaman dan kepemimpinan, nama Sumedang mengalami beberapa perubahan. Yang pertama yaitu Kerajaan Tembong Agung (Tembong artinya nampak dan Agung artinya luhur) dipimpin oleh Prabu Guru Aji Putih pada abad ke XII. Kemudian pada masa zaman Prabu Tajimalela, diganti menjadi Himbar Buana, yang berarti menerangi alam, Prabu Tajimalela pernah berkata “Insun medal; Insun madangan”. Artinya Aku dilahirkan; Aku menerangi. Kata Sumedang diambil dari kata Insun Madangan yang berubah pengucapannya menjadi Sun Madang yang selanjutnya menjadi Sumedang. Ada juga yang berpendapat berasal dari kata Insun Medal yang berubah pengucapannya menjadi Sumedang dan Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingnya.
Pemerintahan berdaulat
No. Nama[1]
Tahun
1 Nama Raja-raja Kerajaan Sumedang Larang
a Prabu Guru Aji Putih 900

b Prabu Agung Resi Cakrabuana / Prabu Taji Malela 950

c Prabu Gajah Agung 980

d Sunan Guling 1000

e Sunan Tuakan 1200

f Nyi Mas Ratu Patuakan 1450

g Ratu Pucuk Umun / Nyi Mas Ratu Dewi Inten Dewata 1530 - 1578
h Prabu Geusan Ulun / Pangeran Angkawijaya 1578 - 1601
2 Nama Bupati Wedana Masa Pemerintahan Mataram II

a R. Suriadiwangsa / Pangeran Rangga Gempol I 1601 - 1625
b Pangeran Rangga Gede 1625 - 1633
c Pangeran Rangga Gempol II 1633 - 1656
d Pangeran Panembahan / Pangeran Rangga Gempol III 1656 - 1706
3 Nama Bupati Wedana Masa Pemerintahan VOC, Inggris, Belanda dan Jepang

a Dalem Tumenggung Tanumaja 1706 - 1709
b Pangeran Karuhun 1709 - 1744
c Dalem Istri Rajaningrat 1744 - 1759
d Dalem Anom 1759 - 1761
e Dalem Adipati Surianagara 1761 - 1765
f Dalem Adipati Surialaga 1765 - 1773
g Dalem Adipati Tanubaja (Parakan Muncang) 1773 - 1775
h Dalem Adipati Patrakusumah (Parakan Muncang) 1775 - 1789
i Dalem Aria Sacapati 1789 - 1791
j Pangeran Kornel / Pangeran Kusumahdinata 1791 - 1800
k Bupati Republik Batavia Nederland 1800 - 1810
l Bupati Kerajaan Nederland, dibawah Lodewijk, Adik Napoleon Bonaparte
1805 - 1810
m Bupati Kerajaan Nederland, dibawah Kaisar Napoleon Bonaparte 1810 - 1811
n Bupati Masa Pemerintahan Inggris 1811 - 1815
o Bupati Kerajaan Nederland 1815 - 1828
p Dalem Adipati Kusumahyuda / Dalem Ageung 1828 - 1833
q Dalem Adipati Kusumahdinata / Dalem Alit 1833 - 1834
r Dalem Tumenggung Suriadilaga / Dalem Sindangraja 1834 - 1836
s Pangeran Suria Kusumah Adinata / Pangeran Soegih 1836 - 1882
t Pangeran Aria Suria Atmaja / Pangeran Mekkah 1882 - 1919
u Dalem Adipati Aria Kusumahdilaga / Dalem Bintang 1919 – 1937
v Dalem Tumenggung Aria Suria Kusumah Adinata / Dalem Aria Sumantri 1937 – 1942
w Bupati Masa Pemerintahan Jepang 1942 – 1945
x Bupati Masa Peralihan Republik Indonesia 1945 – 1946
4 Bupati Masa Pemerintahan Republik Indonesia

a Raden Hasan Suria Sacakusumah 1946 – 1947
5 Bupati Masa Pemerintahan Belanda / Indonesia
a Raden Tumenggung M. Singer 1947 – 1949
6 Bupati Masa Pemerintahan Negara Pasundan
a Raden Hasan Suria Sacakusumah 1949 – 1950
7 Bupati Masa Pemerintahan Republik Indonesia

a Radi (Sentral Organisasi Buruh Republik Indonesia) 1950

b Raden Abdurachman Kartadipura 1950 – 1951
c Sulaeman Suwita Kusumah 1951 – 1958
d Antan Sastradipura 1958 – 1960
e Muhammad Hafil 1960 – 1966
f Adang Kartaman 1966 – 1970
g Drs. Supian Iskandar 1970 – 1972
h Drs. Supian Iskandar 1972 – 1977
i Drs. Kustandi Abdurahman 1977 – 1983
j Drs. Sutarja 1983 – 1988
k Drs. Sutarja 1988 – 1993
l Drs. H. Moch. Husein Jachja Saputra 1993 – 1998
m Drs. H. Misbach 1998 – 2003
n H. Don Murdono,SH. Msi 2003 – 2008
o H. Don Murdono,SH. Msi 2008 – 2013
Prabu Agung Resi Cakrabuana (950 M)
Prabu Agung Resi Cakrabuana atau lebih dikenal Prabu Tajimalela dianggap sebagai pokok berdirinya Kerajaan Sumedang. Pada awal berdiri bernama Kerajaan Tembong Agung dengan ibukota di Leuwihideung (sekarang Kecamatan Darmaraja). Ia punya tiga putra yaitu Prabu Lembu Agung, Prabu Gajah Agung, dan Sunan Geusan Ulun.
Berdasarkan Layang Darmaraja, Prabu Tajimalela memberi perintah kepada kedua putranya (Prabu Lembu Agung dan Prabu Gajah Agung), yang satu menjadi raja dan yang lain menjadi wakilnya (patih). Tapi keduanya tidak bersedia menjadi raja. Oleh karena itu, Prabu Tajimalela memberi ujian kepada kedua putranya jika kalah harus menjadi raja. Kedua putranya diperintahkan pergi ke Gunung Nurmala (sekarang Gunung Sangkanjaya). Keduanya diberi perintah harus menjaga sebilah pedang dan kelapa muda (duwegan/degan). Tetapi, Prabu Gajah Agung karena sangat kehausan beliau membelah dan meminum air kelapa muda tersebut sehingga beliau dinyatakan kalah dan harus menjadi raja Kerajaan Sumedang Larang tetapi wilayah ibu kota harus mencari sendiri. Sedangkan Prabu Lembu Agung tetap di Leuwihideung, menjadi raja sementara yang biasa disebut juga Prabu Lembu Peteng Aji untuk sekedar memenuhi wasiat Prabu Tajimalela. Setelah itu Kerajaan Sumedang Larang diserahkan kepada Prabu Gajah Agung dan Prabu Lembu Agung menjadi resi. Prabu Lembu Agung dan pera keturunannya tetap berada di Darmaraja. Sedangkan Sunan Geusan Ulun dan keturunannya tersebar di Limbangan, Karawang, dan Brebes.
Setelah Prabu Gajah Agung menjadi raja maka kerajaan dipindahkan ke Ciguling. Ia dimakamkan di Cicanting Kecamatan Darmaraja. Ia mempunyai dua orang putra, pertama Ratu Istri Rajamantri, menikah dengan Prabu Siliwangi dan mengikuti suaminya pindah ke Pakuan Pajajaran. Kedua Sunan Guling, yang melanjutkan menjadi raja di Kerajaan Sumedang Larang. Setelah Sunan Guling meninggal kemudian dilanjutkan oleh putra tunggalnya yaitu Sunan Tuakan. Setelah itu kerajaan dipimpin oleh putrinya yaitu Nyi Mas Ratu Patuakan. Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai suami yaitu Sunan Corenda, putra Sunan Parung, cucu Prabu Siliwangi (Prabu Ratu Dewata). Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai seorang putri bernama Nyi Mas Ratu Inten Dewata (1530-1578), yang setelah ia meninggal menggantikannya menjadi ratu dengan gelar Ratu Pucuk Umun.
Ratu Pucuk Umun menikah dengan Pangeran Kusumahdinata, putra Pangeran Pamalekaran (Dipati Teterung), putra Aria Damar Sultan Palembang keturunan Majapahit. Ibunya Ratu Martasari/Nyi Mas Ranggawulung, keturunan Sunan Gunung Jati dari Cirebon. Pangeran Kusumahdinata lebih dikenal dengan julukan Pangeran Santri karena asalnya yang dari pesantren dan perilakunya yang sangat alim. Dengan pernikahan tersebut berakhirlah masa kerajaan Hindu di Sumedang Larang. Sejak itulah mulai menyebarnya agama Islam di wilayah Sumedang Larang.
Ratu Pucuk Umun dan Pangeran Santri
Pada pertengahan abad ke-16, mulailah corak agama Islam mewarnai perkembangan Sumedang Larang. Ratu Pucuk Umun, seorang wanita keturunan raja-raja Sumedang kuno yang merupakan seorang Sunda muslimah; menikahi Pangeran Santri (1505-1579 M) yang bergelar Ki Gedeng Sumedang dan memerintah Sumedang Larang bersama-sama serta menyebarkan ajaran Islam di wilayah tersebut. Pangeran Santri adalah cucu dari Syekh Maulana Abdurahman (Sunan Panjunan) dan cicit dari Syekh Datuk Kahfi, seorang ulama keturunan Arab Hadramaut yang berasal dari Mekkah dan menyebarkan agama Islam di berbagai penjuru daerah di kerajaan Sunda. Pernikahan Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun ini melahirkan Prabu Geusan Ulun atau dikenal dengan Prabu Angkawijaya. Pada masa Ratu Pucuk Umun, ibukota Kerajaan Sumedang Larang dipindahkan dari Ciguling ke Kutamaya.
Dari pernikahan Ratu Pucuk Umun dengan Pangeran Santri memiliki enam orang anak, yaitu :
1. Pangeran Angkawijaya (yang tekenal dengan gelar Prabu Geusan Ulun)
2. Kiyai Rangga Haji, yang mengalahkan Aria Kuda Panjalu ti Narimbang, supaya memeluk agama Islam.
3. Kiyai Demang Watang di Walakung.
4. Santowaan Wirakusumah, yang keturunannya berada di Pagaden dan Pamanukan, Subang.
5. Santowaan Cikeruh.
6. Santowaan Awiluar.
Ratu Pucuk Umun dimakamkan di Gunung Ciung Pasarean Gede di Kota Sumedang.
Prabu Geusan Ulun
Prabu Geusan Ulun (1580-1608 M) dinobatkan untuk menggantikan kekuasaan ayahnya, Pangeran Santri. Ia menetapkan Kutamaya sebagai ibukota kerajaan Sumedang Larang, yang letaknya di bagian Barat kota. Wilayah kekuasaannya meliputi Kuningan, Bandung, Garut, Tasik, Sukabumi (Priangan) kecuali Galuh (Ciamis). Kerajaan Sumedang pada masa Prabu Geusan Ulun mengalami kemajuan yang pesat di bidang sosial, budaya, agama, militer dan politik pemerintahan. Setelah wafat pada tahun 1608, putera angkatnya, Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata atau Rangga Gempol I, yang dikenal dengan nama Raden Aria Suradiwangsa menggantikan kepemimpinannya.
Pada masa awal pemerintahan Prabu Geusan Ulun, Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan sedang dalam masa kehancurannya karena diserang oleh Kerajaan Banten yang dipimpin Sultan Maulana Yusuf dalam rangka menyebarkan Agama Islam. Oleh karena penyerangan itu Kerajaan Pajajaran hancur. Pada saat-saat kekalahan Kerajaan Pajajaran, Prabu Siliwangi sebelum meninggalkan Keraton beliau mengutus empat prajurit pilihan tangan kanan Prabu Siliwangi untuk pergi ke Kerajaan Sumedang dengan rakyat Pajajaran untuk mencari perlindungan yang disebut Kandaga Lante. Kandaga Lante tersebut menyerahkan mahkota emas simbol kekuasaan Raja Pajajaran, kalung bersusun dua dan tiga, serta perhiasan lainnya seperti benten, siger, tampekan, dan kilat bahu (pusaka tersebut masih tersimpan di Museum Prabu Geusan Ulun si Sumedang). Kandaga Lante yang menyerahkan tersebut empat orang yaitu Sanghyang Hawu atau Embah Jayaperkosa, Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan, Sanghyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot.
Walaupun pada waktu itu tempat penobatan raja direbut oleh pasukan Banten (wadyabala Banten) tetapi mahkota kerajaan terselamatkan. Dengan diberikannya mahkota tersebut kepada Prabu Geusan Ulun, maka dapat dianggap bahwa Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan menjadi bagian Kerajaan Sumedang Larang, sehingga wilayah Kerajaan Sumedang Larang menjadi luas. Batas wilayah baratnya Sungai Cisadane, batas wilayah timurnya Sungai Cipamali (kecuali Cirebon dan Jayakarta), batas sebelah utaranya Laut Jawa, dan batas sebelah selatannya Samudera Hindia.
Secara politik Kerajaan Sumedang Larang didesak oleh tiga musuh: yaitu Kerajaan Banten yang merasa terhina dan tidak menerima dengan pengangkatan Prabu Geusan Ulun sebagai pengganti Prabu Siliwangi; pasukan VOC di Jayakarta yang selalu mengganggu rakyat; dan Kesultanan Cirebon yang ditakutkan bergabung dengan Kesultanan Banten. Pada masa itu Kesultanan Mataram sedang pada masa kejayaannya, banyak kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara yang menyatakan bergabung kepada Mataram. Dengan tujuan politik pula akhirnya Prabu Geusan Ulun menyatakan bergabung dengan Kesultanan Mataram dan beliau pergi ke Demak dengan tujuan untuk mendalami agama Islam dengan diiringi empat prajurit setianya (Kandaga Lante). Setelah dari pesantren di Demak, sebelum pulang ke Sumedang ia mampir ke Cirebon untuk bertemu dengan Panembahan Ratu penguasa Cirebon, dan disambut dengan gembira karena mereka berdua sama-sama keturunan Sunan Gunung Jati.
Dengan sikap dan perilakunya yang sangat baik serta wajahnya yang rupawan, Prabu Geusan Ulun disenangi oleh penduduk di Cirebon. Permaisuri Panembahan Ratu yang bernama Ratu Harisbaya jatuh cinta kepada Prabu Geusan Ulun. Ketika dalam perjalanan pulang ternyata tanpa sepengetahuannya, Ratu Harisbaya ikut dalam rombongan, dam karena Ratu Harisbaya mengancam akan bunuh diri akhirnya dibawa pulang ke Sumedang. Karena kejadian itu, Panembahan Ratu marah besar dan mengirim pasukan untuk merebut kembali Ratu Harisbaya sehingga terjadi perang antara Cirebon dan Sumedang.
Akhirnya Sultan Agung dari Mataram meminta kepada Panembahan Ratu untuk berdamai dan menceraikan Ratu Harisbaya yang aslinya dari Pajang-Demak dan dinikahkan oleh Sultan Agung dengan Panembahan Ratu. Panembahan Ratu bersedia dengan syarat Sumedang menyerahkan wilayah sebelah barat Sungai Cilutung (sekarang Majalengka) untuk menjadi wilayah Cirebon. Karena peperangan itu pula ibukota dipindahkan ke Gunung Rengganis, yang sekarang disebut Dayeuh Luhur.
Prabu Geusan Ulun memiliki tiga orang istri: yang pertama Nyi Mas Cukang Gedeng Waru, putri Sunan Pada; yang kedua Ratu Harisbaya dari Cirebon, dan yang ketiga Nyi Mas Pasarean. Dari ketiga istrinya tersebut ia memiliki lima belas orang anak:
1. Pangeran Rangga Gede, yang merupakan cikal bakal bupati Sumedang
2. Raden Aria Wiraraja, di Lemahbeureum, Darmawangi
3. Kiyai Kadu Rangga Gede
4. Kiyai Rangga Patra Kalasa, di Cundukkayu
5. Raden Aria Rangga Pati, di Haurkuning
6. Raden Ngabehi Watang
7. Nyi Mas Demang Cipaku
8. Raden Ngabehi Martayuda, di Ciawi
9. Rd. Rangga Wiratama, di Cibeureum
10. Rd. Rangga Nitinagara, di Pagaden dan Pamanukan
11. Nyi Mas Rangga Pamade
12. Nyi Mas Dipati Ukur, di Bandung
13. Rd. Suridiwangsa, putra Ratu Harisbaya dari Panemabahan Ratu
14. Pangeran Tumenggung Tegalkalong
15. Rd. Kiyai Demang Cipaku, di Dayeuh Luhur.
Prabu Geusan Ulun merupakan raja terakhir Kerajaan Sumedang Larang, karena selanjutnya menjadi bagian Mataram dan pangkat raja turun menjadi adipati (bupati).

Pemerintahan di bawah Mataram
Dipati Rangga Gempol
Pada saat Rangga Gempol memegang kepemimpinan, pada tahun 1620 M Sumedang Larang dijadikannya wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram di bawah Sultan Agung, dan statusnya sebagai 'kerajaan' dirubahnya menjadi 'kabupatian wedana'. Hal ini dilakukannya sebagai upaya menjadikan wilayah Sumedang sebagai wilayah pertahanan Mataram dari serangan Kerajaan Banten dan Belanda, yang sedang mengalami konflik dengan Mataram. Sultan Agung kemudian memberikan perintah kepada Rangga Gempol beserta pasukannya untuk memimpin penyerangan ke Sampang, Madura. Sedangkan pemerintahan untuk sementara diserahkan kepada adiknya, Dipati Rangga Gede.
Dipati Rangga Gede
Ketika setengah kekuatan militer kadipaten Sumedang Larang diperintahkan pergi ke Madura atas titah Sultan Agung, datanglah dari pasukan Kerajaan Banten untuk menyerbu. Karena Rangga Gede tidak mampu menahan serangan pasukan Banten, ia akhirnya melarikan diri. Kekalahan ini membuat marah Sultan Agung sehingga ia menahan Dipati Rangga Gede, dan pemerintahan selanjutnya diserahkan kepada Dipati Ukur.
Dipati Ukur
Sekali lagi, Dipati Ukur diperintahkan oleh Sultan Agung untuk bersama-sama pasukan Mataram untuk menyerang dan merebut pertahanan Belanda di Batavia (Jakarta) yang pada akhirnya menemui kegagalan. Kekalahan pasukan Dipati Ukur ini tidak dilaporkan segera kepada Sultan Agung, diberitakan bahwa ia kabur dari pertanggung jawabannya dan akhirnya tertangkap dari persembunyiannya atas informasi mata-mata Sultan Agung yang berkuasa di wilayah Priangan.
Pembagian wilayah kerajaan
Setelah habis masa hukumannya, Dipati Rangga Gede diberikan kekuasaan kembali untuk memerintah di Sumedang. Sedangkan wilayah Priangan di luar Sumedang dan Galuh (Ciamis), oleh Mataram dibagi menjadi tiga bagian[2]:
• Kabupaten Sukapura, dipimpin oleh Ki Wirawangsa Umbul Sukakerta, gelar Tumenggung Wiradegdaha/R. Wirawangsa,
• Kabupaten Bandung, dipimpin oleh Ki Astamanggala Umbul Cihaurbeuti, gelar Tumenggung Wirangun-angun,
• Kabupaten Parakanmuncang, dipimpin oleh Ki Somahita Umbul Sindangkasih, gelar Tumenggung Tanubaya.
Kesemua wilayah tersebut berada dibawah pengawasan Rangga Gede (atau Rangga Gempol II), yang sekaligus ditunjuk Mataram sebagai Wadana Bupati (kepala para bupati) Priangan.
Peninggalan budaya
Hingga kini, Sumedang masih berstatus kabupaten, sebagai sisa peninggalan konflik politik yang banyak diintervensi oleh Kerajaan Mataram pada masa itu. Adapun artefak sejarah berupa pusaka perang, atribut kerajaan, perlengkapan raja-raja dan naskah kuno peninggalan Kerajaan Sumedang Larang masih dapat dilihat secara umum di Museum Prabu Geusan Ulun, Sumedang letaknya tepat di selatan alun-alun kota Sumedang, bersatu dengan Gedung Srimanganti dan bangunan pemerintah daerah setempat.
29. Kasunanan Surakarta
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
1745 – 1946

Radya Laksana, Lambang Kasunanan Surakarta


Wilayah Kasunanan Surakarta pada 1830 (berwarna merah tua dan berada di sebelah utara)
Ibu Kota : Kota Surakarta
Bahasa : Jawa
Agama : Mayoritas Islam
Pemerintahan : Monarki (Kerajaan)


Gerbang Keraton Kasunanan Surakarta (foto antara 1880-1920)
Kasunanan Surakarta Hadiningrat adalah sebuah kerajaan di Jawa Tengah yang berdiri tahun 1745 sebagai kelanjutan dari Kasunanan Kartasura.
Latar belakang
Kesunanan Surakarta merupakan kelanjutan Kasunanan Kartasura, yang pada gilirannya adalah kelanjutan Kesultanan Mataram yang runtuh akibat pemberontakan Trunajaya tahun 1677. Kasunanan Kartasura sendiri runtuh akibat pemberontakan orang-orang Tionghoa yang mendapat dukungan dari orang-orang Jawa anti VOC tahun 1742. Saat itu yang menjadi raja ialah Pakubuwana II. Kota Kartasura berhasil direbut kembali oleh Cakraningrat IV sekutu VOC namun keadaannya sudah rusak parah. Pakubuwana II yang menyingkir ke Ponorogo memutuskan untuk membangun istana baru di desa Sala, bernama Surakarta Hadiningrat.
Perkembangan
Kasunanan Surakarta sebagai kelanjutan dari Kasunanan Kartasura kemudian dihadapkan pada pemberontakan Pangeran Mangkubumi adik Pakubuwana II tahun 1746. Di tengah ramainya peperangan, Pakubuwana II meninggal karena sakit tahun 1749. Namun, ia sempat menyerahkan kedaulatan negeri Jawa sepenuhnya kepada VOC yang diwakili Baron von Hohendorff. Sejak saat itu, hanya VOC yang berhak melantik raja-raja keturunan Mataram.
Pada tanggal 13 Februari 1755 pihak VOC yang sudah mengalami kebangkrutan berhasil mengajak Pangeran Mangkubumi berdamai. Perjanjian Giyanti yang ditandatangani oleh Pakubuwana III mengakui kedaulatan Pangeran Mangkubumi sebagai raja Mataram yang menguasai setengah wilayah Kasunanan Surakarta dengan gelar Hamengkubuwana I. Seiring dengan berjalannya waktu, negeri Mataram yang dipimpin oleh Hamengkubuwana I kemudian lebih terkenal dengan nama Kesultanan Yogyakarta.
Selanjutnya, wilayah Kasunanan Surakarta semakin berkurang karena diberikan kepada Mangkunegara I sesuai perjanjian Salatiga tahun 1757. Wilayah Surakarta semakin berkurang lagi setelah Perang Diponegoro usai tahun 1830 di mana daerah-daerah mancanegara direbut paksa oleh Belanda.
Masa Kemerdekaan
Di awal masa kemerdekaan Republik Indonesia (1945 - 1946), Kasunanan Surakarta bersama Praja Mangkunegaran sempat menjadi Daerah Istimewa Surakarta. Akan tetapi karena kerusuhan dan agitasi politik saat itu, maka pada tanggal 16 Juni 1946 oleh Pemerintah Indonesia statusnya diubah menjadi Karesidenan Surakarta, menyatu dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Daftar sunan Surakarta
Didahului oleh:
Kasunanan Kartasura
Kasunanan Surakarta
1742-1755 Digantikan oleh:
Kasunanan Surakarta
Kesultanan Yogyakarta

Didahului oleh:
Kasunanan Surakarta Kasunanan Surakarta
1755-1757 Digantikan oleh:
Kasunanan Surakarta
Praja Mangkunegaran

Didahului oleh:
Kasunanan Surakarta Kasunanan Surakarta
Praja Mangkunegaran
1757-1945 Digantikan oleh:
Provinsi Surakarta


30. Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


1755 – 1950



Praja Cihna, Lambang Kesultanan Yogyakarta

Ibu kota : Yogyakarta
Bahasa : Jawa 1755-1950, Belanda 1755-1811; 1816-1942,
Inggris 1811-1816, Jepang 1942-1945, Indonesia 1945-1950
Agama : Islam
Pemerintahan : Monarki (Kesultanan)


Pagelaran Kraton Yogyakarta
Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat adalah negara dependen yang berbentuk kerajaan. Kedaulatan dan kekuasaan pemerintahan negara diatur dan dilaksanakan menurut perjanjian/kontrak politik yang dibuat oleh negara induk bersama-sama negara dependen. Kontrak politik terakhir antara negara induk dengan kesultanan adalah Perjanjian Politik 1940 (Staatsblad 1941, No. 47). Sebagai konsekuensi dari bentuk negara kesatuan yang dipilih oleh Republik Indonesia sebagai negara induk, maka pada tahun 1950 status negara dependen Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (bersama-sama dengan Kadipaten Pakualaman) diturunkan menjadi daerah istimewa setingkat provinsi dengan nama Daerah Istimewa Yogyakarta.
Awal riwayat
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perjanjian Giyanti
Dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) antara Pangeran Mangkubumi dan VOC di bawah Gubernur-Jendral Jacob Mossel, maka Kerajaan Mataram dibagi dua. Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sultan dengan gelar Sultan Hamengkubuwana I dan berkuasa atas setengah daerah Kerajaan Mataram. Sementara itu Sunan Paku Buwono III tetap berkuasa atas setengah daerah lainnya dengan nama baru Kasunanan Surakarta dan daerah pesisir tetap dikuasai VOC.
Sultan Hamengkubuwana I kemudian segera membuat ibukota kerajaan beserta istananya yang baru dengan membuka daerah baru (jawa: babat alas) di Hutan Paberingan yang terletak antara aliran Sungai Winongo dan Sungai Code. Ibukota berikut istananya tersebut tersebut dinamakan Ngayogyakarta Hadiningrat dan landscape utama berhasil diselesaikan pada tanggal 7 Oktober 1756. Selanjutnya secara turun-temurun para keturunannya memerintah kesultanan di sana.
Wilayah dan penduduk
] Wilayah
Mengikuti kerajaan Mataram, wilayah Kesultanan Yogyakarta pada mulanya dibagi menjadi beberapa lapisan yaitu Nagari Ngayogyakarta (wilayah ibukota), Nagara Agung (wilayah utama), dan Manca Nagara (wilayah luar). Keseluruhan wilayah Nagari Ngayogyakarta dan wilayah Nagara Agung memiliki luas 53.000 karya (sekitar 309,864500 km persegi), dan keseluruhan wilayah Manca Nagara memiliki luas 33.950 karya (sekitar 198,488675 km persegi). Selain itu, masih terdapat tambahan wilayah dari Danurejo I di Banyumas, seluas 1.600 karya (sekitar 9,3544 km persegi).
• Nagari Ngayogyakarta meliputi:
(1) Kota tua Yogyakarta (diantara Sungai Code dan Sungai Winongo), dan
(2) Daerah sekitarnya dengan batas Masjid Pathok Negara.
• Nagara Agung meliputi:
(1) Daerah Siti Ageng Mlaya Kusuma (wilayah Siti Ageng [suatu wilayah di antara Pajang dengan Demak] bagian timur yang tidak jelas batasnya dengan wilayah Kesunanan),
(2) Daerah Siti Bumijo (wilayah Kedu dari Sungai Progo sampai Gunung Merbabu),
(3) Daerah Siti Numbak Anyar (wilayah Bagelen antara Sungai Bagawanta dan Sungai Progo),
(4) Daerah Siti Panekar (wilayah Pajang bagian timur, dari Sungai Samin ke selatan sampai Gunungkidul, ke timur sampai Kaduwang), dan
(5) Daerah Siti Gadhing Mataram (wilayah Mataram Ngayogyakarta [suatu wilayah diantara Gunung Merapi dengan Samudera Hindia]).


Pembagian Mataram dan Manca Nagara pada tahun 1757.
• Manca Nagara meliputi:
(1) Wilayah Madiun yang terdiri dari daerah-daerah:
(a) Madiun Kota,
(b) Magetan,
(c) Caruban, dan
(d) Setengah Pacitan;
(2) Wilayah Kediri yang meliputi daerah-daerah:
(a) Kertosono,
(b) Kalangbret, dan
(c) Ngrowo (Tulung Agung);
(3) Wilayah Surabaya yang meliputi daerah Japan (Mojokerto);
(4) Wilayah Rembang yang meliputi daerah-daerah:
(a) Jipang (Ngawen) dan
(b) Teras Karas (Ngawen);
(5) Wilayah Semarang yang meliputi daerah-daerah:
(a) Selo atau Seselo (makam nenek moyang raja Mataram),
(b) Warung (Kuwu-Wirosari), dan
(c) Sebagian Grobogan.
Wilayah-wilayah Kesultanan tersebut bukan sebuah wilayah yang utuh, namun terdapat banyak enklave maupun eksklave wilayah Kesunanan dan Mangku Negaran. Wilayah-wilayah tersebut merupakan hasil dari Perjanjian Palihan Nagari yang ditandatangani di Giyanti. Perjanjian itu juga disebut Perjanjian Giyanti.
Dalam perjalanan waktu wilayah tersebut berkurang akibat perampasan oleh Daendels dan Raffles. Setelah Perang Diponegoro selesai pada 1830, pemerintah Hindia Belanda akhirnya merampas seluruh wilayah Manca Nagara. Pada tahun itu pula ditandatangani Perjanjian Klaten pada 27 September 1830 yang menegaskan wilayah dan batas-batas Kasultanan Yogyakarta dengan Kasunanan Surakarta. Wilayah Kasultanan Yogyakarta hanya meliputi Mataram dan Gunungkidul dengan luas 2.902,54 km persegi. Di wilayah tersebut terdapat enklave Surakarta (Kotagede dan Imogiri), Mangku Negaran (Ngawen), dan Paku Alaman (Kabupaten Kota Paku Alaman).
Penduduk


Potret putra dan putri bangsawan Kesultanan Yogyakarta (1870).
Pembagian wilayah menurut Perjanjian Palihan Nagari juga diikuti dengan pembagian pegawai kerajaan (abdi Dalem) dan rakyat (kawula Dalem) yang menggunakan atau memakai wilayah tersebut. Hal ini tidak terlepas dari sistem pemakaian tanah pada waktu itu yang menggunakan sistem lungguh (tanah jabatan). Diperkirakan penduduk kesultanan pada waktu perjanjian berjumlah 522.300 jiwa, dengan asumsi tanah satu karya dikerjakan oleh satu keluarga dengan anggota enam orang. Pada 1930 penduduk meningkat menjadi 1.447.022 jiwa.
Dalam strata sosial, penduduk dapat dibedakan menjadi tiga golongan yaitu bangsawan (bandara), pegawai (abdi Dalem) dan rakyat jelata (kawula Dalem). Sultan yang merupakan anggota lapisan bangsawan menempati urutan puncak dalam sistem sosial. Anggota lapisan bangsawan ini memiliki hubungan kekerabatan dengan Sultan yang pernah atau sedang memerintah. Namun hanya bangsawan keturunan 1-4 (anak, cucu, anak dari cucu, dan cucu dari cucu) dari Sultan yang termasuk Keluarga Kerajaan dalam artian mereka memiliki kedudukan dan peran dalam upacara kerajaan.
Lapisan pegawai mendasarkan kedudukan mereka dari surat keputusan yang dikeluarkan oleh Sultan. Lapisan ini dibedakan menjadi tiga yaitu pegawai Keraton, pegawai Kepatihan, Kabupaten, dan Kapanewon, serta pegawai yang diperbantukan pada pemerintah penjajahan. Lapisan rakyat jelata dibedakan atas penduduk asli dan pendatang dari luar. Selain itu terdapat juga orang-orang asing maupun keturunannya yang bukan warga negara Kasultanan Yogyakarta yang berdiam di wilayah kesultanan.
[sunting] Pemerintahan dan politik


Koridor di depan Gedhong Jene dan Gedhong Purworetno. Dari bangunan yang disebut terakhir ini Sultan mengendalikan seluruh kerajaan.
Pemerintahan Kasultanan Yogyakarta mulanya diselenggarakan dengan menggunakan susunan pemerintahan warisan dari Mataram. Pemerintahan dibedakan menjadi dua urusan besar yaitu Parentah Lebet (urusan dalam) yang juga disebut Parentah Ageng Karaton, dan Parentah Jawi (urusan luar) yang juga disebut Parentah Nagari. Sultan memegang seluruh kekuasaan pemerintahan negara. Dalam menjalankan kewajibannya sehari-hari Sultan dibantu lembaga Pepatih Dalem yang bersifat personal.[2]
Pada mulanya pemerintahan urusan dalam dan urusan luar masing-masing dibagi menjadi empat kementerian yang dinamakan Kanayakan. Kementerian urusan dalam adalah:
(1) Kanayakan Keparak Kiwo, dan
(2) Kanayakan Keparak Tengen,
yang keduanya mengurusi bangunan dan pekerjaan umum;
(3) Kanayakan Gedhong Kiwo, dan
(4) Kanayakan Gedhong Tengen,
yang keduanya mengurusi penghasilan dan keuangan.
Kementerian urusan luar adalah
(5) Kanayakan Siti Sewu, dan
(6) Kanayakan Bumijo,
yang keduanya mengurusi tanah dan pemerintahan;
(7) Kanayakan Panumping, dan
(8) Kanayakan Numbak Anyar,
yang keduanya mengurusi pertahanan.
Masing masing kementerian dipimpin oleh Bupati Nayaka yang karena jabatannya juga merupakan komandan militer yang memimpin pasukan kerajaan dalam peperangan.
Untuk menangani urusan agama Sultan membentuk sebuah badan khusus yang disebut dengan Kawedanan Pengulon. Badan ini mengurus masalah peribadatan, perawatan masjid-masjid kerajaan, dan upacara-upacara keagamaan istana, serta urusan peradilan kerajaan dalam lingkungan peradilan syariat Islam. Urusan regional di luar ibukota dibagi menjadi beberapa daerah administratif yang dikepalai oleh pejabat senior dengan pangkat Bupati. Mereka dikoordinasi oleh Pepatih Dalem. Tugas-tugasnya meliputi pengelolaan administrasi lokal, hukum dan peradilan, pemungutan pajak dan pengiriman hasil panenan melalui bawahannya, Demang, dan Bekel.


L. F. Dingemans, residen Belanda di Yogyakarta (1926)
Setidaknya sampai 1792 Kasultanan Yogyakarta secara de facto merupakan negara merdeka dan VOC hanyalah mitra yang sejajar. Untuk menjamin posisinya maka VOC menempatkan seorang Residen di Yogyakarta untuk mengawasi Kesultanan. Kedudukan Residen ini mulanya berada di bawah Sultan dan sejajar dengan Pepatih Dalem. Daendels menaikkan kedudukan Residen menjadi Minister, yang merupakan menteri Raja/Ratu Belanda dan mewakili kehadiran Gubernur Jenderal.
Dengan kedatangan Raffles sistem pemerintahan berubah lagi. Sultan tidak diperbolehkan mengadakan hubungan dengan negara lain sebab kedaulatan berada ditangan pemerintah Inggris. Begitu pula dengan Pepatih Dalem, Pengurus Kerajaan (Rijkbestuurder), diangkat dan diberhentikan berdasar kebutuhan pemerintah Inggris dan dalam menjalankan pekerjaannya harus sepengetahuan dan dengan pertimbangan Residen Inggris. Sultan mulai dibebaskan dari pemerintahan sehari-hari yang dipimpin oleh Pepatih Dalem yang dikontrol oleh Residen.
Selepas Perang Diponegoro selesai pada 1830, pemerintahan Nagari yang berada di tangan Pepatih Dalem dikontrol secara ketat sekali oleh Belanda untuk mencegah terjadinya pemberontakan. Kasultanan Yogyakarta secara de facto dan de jure menjadi negara protektorat dari Koninkrijk der Nederlanden, dengan status zelfbestuurende landschappen. Selain itu pemerintah Hindia Belanda selalu mengajukan perjanjian politik yang dinamakan kontrak politik bagi calon Sultan yang akan ditahtakan. Perjanjian ini diberlakukan terhadap Sultan Hamengkubuwana V - Sultan Hamengkubuwana IX. Kontrak politik terakhir dibuat pada 18 Maret 1940 antara Gubernur Hindia Belanda untuk Daerah Yogyakarta, L. Adam dengan HB IX.
Pada 1900-an Belanda mencampuri birokrasi pemerintahan Kesultanan secara intensif dengan maksud memasukkan birokrasi barat modern. Untuk membiayai birokrasi tersebut maka pada 1915 APBN Kasultanan Yogyakarta dibagi menjadi dua yaitu APBN untuk Parentah Ageng Karaton dan APBN untuk Parentah Nagari yang berada dalam kontrol Hindia Belanda. Untuk belanja dan mengurus keperluan istana, setiap tahun Sultan mendapat uang ganti rugi yang disebut Daftar Sipil yang ditentukan dalam kontrak politik yang dibuat sebelum Sultan ditahtakan. Dengan demikian Sultan benar benar tersingkir dari pemerintahan Nagari dan hanya berperan di istana saja.
Perubahan besar dalam pemerintahan terjadi pada saat Sultan Hamengkubuwono IX (HB IX) naik tahta pada tahun 1940, khususnya selama pendudukan Jepang (1942-1945). Secara perlahan namun pasti, Sultan melakukan restorasi (bandingkan dengan restorasi Meiji). Sultan membentuk badan-badan pemerintahan baru untuk menampung urusan pemerintahan yang diserahkan oleh Tentara Pendudukan Jepang. Badan tersebut dinamakan Paniradya yang masing-masing dikepalai oleh Paniradyapati. Paniradyapati tidak lagi berada di bawah kekuasaan Pepatih Dalem melainkan langsung berada di bawah kekuasaan Sultan. Dengan perlahan namun pasti Sultan memulihkan kembali kekuasaannya selaku kepala pemerintahan.


Alun-alun Lor, saksi bisu kemegahan sebuah pemerintahan negara
Pada pertengahan 15 Juli 1945, Pepatih Dalem terakhir, KPHH Danurejo VIII, mengundurkan diri karena memasuki usia pensiun. Sejak saat itu Sultan tidak menujuk lagi Pepatih Dalem sebagai penggantinya melainkan mengambil alih kembali kekuasaan pemerintahan negara. Sebagai kelanjutannya birokrasi kesultanan dibedakan menjadi dua bagian yaitu urusan dalam istana (Imperial House) dan urusan luar istana. Urusan dalam istana ditangani oleh Parentah Ageng Karaton yang mengkoordinasikan seluruh badan maupun kantor pemerintahan yang berada di istana yang terdiri dari beberapa badan atau kantor Semuanya di pimpin dan diatur secara langsung oleh saudara atau putera Sultan.
Sultan meminpin sendiri lembaga luar istana, yang terdiri dari beberapa Paniradya yang dipimpin oleh Bupati. Daerah di sekitar istana dibagi menjadi lima kabupaten yang administrasi lokalnya dipimpin oleh Bupati. Setelah kemerdekaan, sebagai konsekuensi integrasi Kesultanan pada Republik, status dan posisi serta administrasi Kesultanan dijalankan berdasar peraturan Indonesia. Kesultanan diubah menjadi daerah administrasi khusus dan Sultan menjadi Kepala Daerah Istimewa. Kesultanan menjadi bagian dari republik modern.
Hukum dan peradilan
Dalam sistem peradilan kerajaan, kekuasaan kehakiman tertinggi berada di tangan Sultan. Dalam kekuasaan kehakiman Kesultanan Yogyakarta terdapat empat macam badan peradilan yaitu Pengadilan Pradoto, Pengadilan Bale Mangu, Al Mahkamah Al Kabirah, dan Pengadilan Darah Dalem.
• Pengadilan Pradoto merupakan pengadilan sipil yang menangani masalah kasus pidana maupun perdata.
• Pengadilan Bale Mangu merupakan pengadilan khusus yang menangani tata urusan pertanahan dan hubungan antar tingkat antara pegawai kerajaan.
• Al Mahkamah Al Kabirah atau yang sering disebut dengan Pengadilan Surambi adalah pengadilan syar’iyah yang berlandaskan pada Syariat (Hukum) Islam. Pengadilan ini merupakan konsekuensi dari bentuk Pemerintahan Yogyakarta sebagai sebuah Kesultanan Islam. Mulanya pengadilan ini menangani ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga) seperti nikah dan waris, serta jinayah (hukum pidana). Dalam perjalanannya kemudian berubah hanya menangani ahwal al-syakhsiyah nikah, talak, dan waris.
• Pengadilan Darah Dalem atau Pengadilan Ponconiti merupakan pengadilan khusus (Forum Privilegatum) yang menangani urusan yang melibatkan anggota keluarga kerajaan. Pengadilan ini sebenarnya terdiri dari dua pengadilan yang berbeda yaitu Pengadilan Karaton Darah Dalem dan Pengadilan Kepatihan Darah Dalem.
Perubahan bidang kehakiman mendasar terjadi pada 1831 ketika pemerintah Hindia Belanda setahap demi setahap mencampuri dan mengambil alih kekuasaan kehakiman dari pemerintahan Kasultanan Yogyakarta. Mulai dari penunjukkan Residen Kerajaan Hindia Belanda untuk Kasultanan Yogyakarta sebagai ketua Pengadilan Pradoto sampai dengan pembentukan pengadilan Gubernemen (Landraad) di Yogyakarta. Akhirnya Pengadilan Pradoto dan Bale Mangu dihapuskan masing-masing pada 1916 dan 1917 serta kewenangannya dilimpahkan pada Landraad Yogyakarta. Setelah Kasultanan Yogyakarta menyatakan sebagai bagian dari Negara Republik Indonesia maka sistem peradilan yang digunakan adalah sistem peradilan nasional. Pengadilan yang digunakan adalah Pengadilan Negeri sebagai ganti dari Landraad Yogyakarta. Pada 1947 Pemerintah Pusat Indonesia menghapuskan pengadilan kerajaan yang terakhir, Pengadilan Darah Dalem.
Dalam sistem hukum kerajaan pernah digunakan sebuah Kitab Undang-undang Hukum (KUH) Kesultanan yang disebut dengan nama Kitab Angger-angger yang disusun bersama oleh Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta pada 1817. KUH ini terdiri dari lima/enam buku (volume) yaitu Angger Aru-biru, Angger Sadoso, Angger Gunung, Angger Nawolo Pradoto Dalem, Angger Pradoto Akhir (khusus Yogyakarta), dan Angger Ageng. Seiring dengan berdirinya Landraad Yogyakarta maka KUH pun diganti dengan KUH Belanda seperti Burgerlijk Wetboek dan Wetboek van Strafrecht.
Ekonomi dan agraria
Sumber ekonomi utama yang tersedia bagi Kesultanan Yogyakarta adalah tanah, hutan kayu keras, perkebunan, pajak, dan uang sewa. Oleh karena itu sistem ekonomi tidak bisa lepas dari sistem agraria. Sultan menguasai seluruh tanah di Kesultanan Yogyakarta. Dalam birokrasi kerajaan, pertanahan diurus oleh Kementerian Pertanahan, Kanayakan Siti Sewu. Urusan tanah di Kesultanan Yogyakarta dibagi menjadi dua bentuk yaitu tanah yang diberikan Sultan kepada anggota keluarga kerajaan dan tanah yang diberikan kepada pegawai kerajaan. Tanah tersebut berlokasi teritori Nagara Agung, khususnya daerah Mataram, dan disebut sebagai tanah lungguh (apanage land/tanah jabatan). Tanah yang berada dalam pemeliharaan para keluarga kerajaan dan pegawai kerajaan tersebut juga digunakan oleh masyarakat umum sebagai tempat tinggal dan pertanian dari generasi ke generasi. Sebagai imbalannya mereka menyetor sebagian hasil panen sebagai bentuk pajak. Sekalipun kaum ningrat dan rakyat umum memiliki kebebasan dalam mengatur, mengolah, dan mendiami tanah tersebut mereka tidak diijinkan untuk menjualnya.
Selain itu kerajaan juga menerima penerimaan yang besar dari penebangan hutan kayu keras dalam skala besar sejak Sultan HB I. Pada 1821 pemerintahan Hindia Belanda memperoleh hak atas hasil penebangan dari hutan kayu keras dan istana bertanggung jawab atas manajemen dan eksploitasinya. Pada 1848 sebuah peraturan mengharuskan Sultan memenuhi kebutuhan kayu keras pemerintah jajahan dan dalam ganti rugi Sultan memperoleh biaya penebangan dan pengangkutan kayu. Pada 1904 masa pemerintahan HB VII, manajemen hutan kayu keras di Gunung Kidul diambil alih oleh pemerintah Hindia Belanda. Sebagai kompensasi atas persetujuan itu istana memperoleh kayu keras gratis untuk konstruksi istana Ambar Rukmo dan Ambar Winangun.
Perkebunan yang dikembangkan di Yogyakarta, terutama setelah 1830, adalah kopi, tebu, nila, dan tembakau. Kebanyakan perkebunan ditangani oleh perkebunan swasta asing. Jumlah perkebunan yang semula ada 20 buah di tahun 1839 meningkat menjadi 53 di tahun 1880, seiring pertumbuhan ekonomi, sistem penyewaan tanah, dan pembangunan infrastruktur.
Restrukturisasi di zaman HB IX karena dihadapkan pada beban ekonomi dan sumber yang terbatas. Pada 1942, Sultan tidak melaporkan secara akurat jumlah produksi beras, ternak, dan produk lain untuk melindungi rakyat dari Jepang. Sultan juga membangun kanal guna meningkatkan produksi beras dan untuk mencegah rakyat Yogyakarta dijadikan romusha oleh Jepang.
Kebudayaan, pendidikan, dan kepercayaan


Gerbang Danapratapa, Keraton Yogyakarta, antara seni, filsafat, kosmologi, kebiasaan umum (adat istiadat), sistem kepercayaan, pandangan hidup, dan pendidikan yang tak terpisahkan dalam kebudayaan Jawa.
Sebagaimana masyarakat Jawa pada umumnya, kebudayaan di Kesultanan Yogyakarta tidak begitu memiliki batas yang tegas antar aspeknya. Kebiasaan umum (adat istiadat), kepercayaan, seni, pandangan hidup, pendidikan, dan sebagainya saling tumpang tindih, bercampur dan hanya membentuk suatu gradasi yang kabur. Sebagai contoh seni arsitektur bangunan keraton tidak lepas dari konsep “Raja Gung Binathara” (raja yang agung yang dihormati bagaikan dewa) yang merupakan pandangan hidup masyarakat yang juga menjadi bagian dari sistem kepercayaan (penghormatan kepada dewa/tuhan).
Beberapa tarian tertentu, misalnya Bedaya Ketawang, selain dianggap sebagai seni pertunjukan juga bersifat sakral sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur pendiri kerajaan dan penguasa alam. Begitu pula benda-benda tertentu dianggap memiliki kekuatan magis dan berkaitan dengan dunia roh dalam pandangan hidup masyarakat. Oleh karenanya dalam pergaulan sehari-haripun ada pantangan yang bila dilanggar akan menimbulkan kutuk tertentu bagi pelakunya. Ini pula yang menimbulkan tata kebiasaan yang diberlakukan dengan ketat.
Kebudayaan tersebut diwariskan dari generasi ke generasi berdasar cerita dari mulut ke mulut. Pelajaran tentang kehidupan disampaikan melalui cerita-cerita wayang yang pada akhirnya menumbuhkan kesenian pertunjukkan wayang kulit maupun wayang jenis lain. Selain itu wejangan dan nasehat tentang pandangan hidup dan sistem kepercayaan juga ditransmisikan dalam bentuk tembang (lagu) maupun bentuk sastra lainnya. Semua hal itu tidak lepas dari sistem bahasa yang digunakan dan membuatnya berkembang. Dalam masyarakat dipakai tiga jenjang bahasa yaitu Ngoko (bahasa Jawa rendah), Krama Andhap (bahasa Jawa tengah), dan Krama Inggil (bahasa Jawa tinggi). Aturan pemakaian bahasa tersebut sangat rumit, namun tercermin budaya penghormatan dan saling menghargai. Ada satu lagi bahasa yang khusus dan hanya digunakan di lingkungan istana yang disebut dengan Bagongan yang lebih mencerminkan pandangan hidup kesetaraan kedudukan diantara pemakainya.


Para penari tarian Beksan Entheng, sekitar tahun 1870.
Perkembangan budaya sebagaimana dijelaskan di awal tidak lepas pula dari sistem pendidikan. Pada mulanya sistem pendidikan yang digunakan meneruskan sistem yang digunakan zaman Mataram. Pendidikan formal hanya dapat dinikmati oleh keluarga kerajaan. Pendidikan itu meliputi pendidikan agama dan sastra. Pendidikan agama diselenggarakan oleh Kawedanan Pengulon. Pendidikan ini berlokasi di kompleks masjid raya kerajaan. Pendidikan sastra diselenggarakan oleh Tepas Kapunjanggan. Kedua pendidikan ini satu sistem dan tidak terpisah. Para siswa diberi pelajaran agama, bahasa Jawa, budaya, dan literatur (serat dan babad).
Pendidikan barat baru diperkenalkan oleh pemerintah penjajahan pada awal abad 20. Pada pemerintahan Sultan HB VIII sistem pedidikan dibuka. Mula-mula sekolah dasar dibuka di Tamanan dan kemudian dipindahkan di Keputran. Sekolah ini masih ada hingga sekarang dalam bentuk SD N Keputran. Pendidikan lanjut memanfaatkan pendidikan yang dibuka oleh pemerintah penjajahan seperti HIS, Mulo, dan AMS B. Pada 1946, kesultanan ikut serta dalam mendirikan Balai Perguruan Kebangsaan Gajah Mada yang pada 1949 dijadikan UGM.
Sebagai sebuah Kesultanan, Islam merupakan kepercayaan resmi kerajaan. Sultan memegang kekuasaan tertinggi dalam bidang kepercayaan dengan gelar Sayidin Panatagama Khalifatullah. Walaupun demikian kepercayaan-kepercayaan lokal (baca kejawen) masih tetap dianut rakyat disamping mereka menyatakan diri sebagai orang Islam. Berbagai ritus kepercayaan lokal masih dijalankan namun doa-doa yang dipanjatkan diganti dengan menggunakan bahasa Arab. Hal ini menujukkan sebuah kepercayaan baru yang merupakan sinkretis antara kepercayaan Islam dan kepercayaan lokal. Gerakan puritan untuk membersihkan Islam dari pengaruh kepercayaan lokal dan westernisasi baru muncul pada 1912 dari kalangan Imam Kerajaan. Pada perkembangan selanjutnya kawasan Kauman Yogyakarta yang menjadi tempat tinggal para Imam Kerajaan menjadi pusat gerakan puritan itu.
Pertahanan dan keamanan
Pada mulanya sistem birokrasi pemerintahan menganut sistem militer sebagaimana kerajaan Mataram. Seorang pegawai pemerintah juga merupakan seorang serdadu militer. Begitu pula para pimpinan kabinet kerajaan karena jabatannya merupakan komandan militer, bahkan kalau perlu mereka harus ikut bertempur membela kerajaan. Walaupun begitu untuk urusan pertahanan terdapat tentara kerajaan yang dikenal dengan abdi Dalem Prajurit. Tentara Kesultanan Yogyakarta hanya terdiri dari angkatan darat saja yang dikelompokkan menjadi sekitar 26 kesatuan. Selain itu terdapat pula paramiliter yang berasal dari rakyat biasa maupun dari pengawal para penguasa di Manca Nagara.
Pada paruh kedua abad 18 sampai awal abad 19 tentara kerajaan di Yogyakarta merupakan kekuatan yang patut diperhitungkan. Walaupun Sultan merupakan panglima tertinggi namun dalam keseharian hanya sebagian saja yang berada di dalam pengawasan langsung oleh Sultan. Sebagian yang lain berada di dalam pengawasan Putra mahkota dan para pangeran serta pejabat senior yang memimpin kementerian/kantor pemerintahan. Kekuatan pertahanan menyurut sejak dimakzulkannya HB II oleh Daendels pada 1810 dan ditanda tanganinya perjanjian antara HB III dengan Raffles pada 1812. Perjanjian itu mencantumkan Sultan harus melakukan demiliterisasi birokrasi kesultanan. Sultan, pangeran, dan penguasa daerah tidak boleh memiliki tentara kecuali dengan ijin pemerintah Inggris dan itupun hanya untuk menjaga keselamatan pribadi sang pejabat.
Kekuatan pertahanan benar-benar lumpuh setelah selesainya perang Diponegoro di tahun 1830. Tentara Kesultanan Yogyakarta hanya menjadi pengawal pribadi Sultan, Putra Mahkota, dan Pepatih Dalem. Jumlahnya sangat dibatasi dan persenjataannya tidak lebih dari senjata tajam dan beberapa pucuk senapan tua. Pertahanan menjadi tanggung jawab pemerintah Hindia Belanda. Sebagai pengganti kekuatan militer yang dikebiri Kesultanan Yogyakarta dapat membentuk polisi untuk menjaga keamanan warganya. Pada 1942, untuk mengindari keterlibatan kesultanan dalam perang pasifik Sultan membubarkan tentara kesultanan. Keputusan ini kemudian dikukuhkan dalam perintah Pemerintah Militer Angkatan Darat XVI Jepang pada bulan Agustus 1942. Dengan demikian kesultanan tidak memiliki lagi kekuatan militer.
Akhir riwayat


Hamengku Buwono IX
Pada saat Proklamasi Kemerdekaan RI, Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII mengirim kawat kepada Presiden RI, menyatakan bahwa Daerah Kesultanan Yogyakarta dan Daerah Paku Alaman menjadi bagian wilayah Negara Republik Indonesia, serta bergabung menjadi satu, mewujudkan sebuah Daerah Istimewa Yogyakarta yang bersifat kerajaan. Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII kemudian menjadi Kepala Daerah Istimewa dan Wakil Kepala Daerah Istimewa dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
Pada tahun 1950 secara resmi Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat ini, bersama-sama dengan Kadipaten Pakualaman menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta, sebuah daerah berotonomi khusus setingkat provinsi sebagai bagian Negara Kesatuan Indonesia. Dengan demikian status Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai sebuah negara (state) berakhir dan menjelma menjadi pemerintahan daerah berotonomi khusus. Sedangkan institusi istana kemudian dipisahkan dari "negara" dan diteruskan oleh Keraton Kasultanan Yogyakarta.


Pendapa Museum Hamengku Buwono IX di Keraton Yogyakarta.
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat
Istana atau Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dirancang sendiri oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I saat mendirikan Kasultanan. Keahliannya dalam bidang arsitektur antara lain dihargai oleh Dr. Pigeund dan Dr. Adam, yaitu para peneliti berkebangsaan Belanda. Bagian-bagian keraton adalah
(1) Kompleks Alun-alun Lor yang terdiri dari sub kompleks: Gladhak-Pangurakan, Alun-alun Lor, Mesjid Ageng, dan Pagelaran;
(2) Kompleks Siti Hinggil Lor;
(3) Kompleks Kamandhungan Lor;
(4) Kompleks Sri Manganti;
(5) Kompleks Kedhaton yang terdiri dari sub kompleks: Pelataran Kedhaton, Ksatriyan, Keputren, dan Kraton Kilen;
(6) Kompleks Kamagangan;
(7) Kompleks Kamandhungan Kidul;
(8) Kompleks Siti Hinggil Kidul; dan
(9) Kompleks Alun-alun Kidul dan Nirbaya.
Keraton Yogyakarta Ngayogyakarta Hadiningrat selain merupakan kediaman resmi Sultan, saat ini juga berfungsi sebagai salah satu cagar budaya masyarakat Jawa. Sebagai pusat budaya, keraton sering melaksanakan kegiatan-kegiatan budaya dan merupakan salah satu tujuan pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta, yang sering didatangi para wisatawan dalam dan luar negeri.
Peristiwa penting
] Abad ke-18
• 1749, 12 Desember, Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai raja Mataram oleh pengikutnya dan para bangsawan senior dari Surakarta dengan gelar Susuhunan Paku Buwono Senopati Ingalaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama.
• 1750, RM Said (MN I) yang telah menjadi perdana menteri P Mangkubumi menggempur Surakarta.
• 1752, Mangkubumi berhasil menggerakkan pemberontakan di provinsi-provinsi Pasisiran (daerah pantura Jawa) mulai dari Banten sampai Madura. Perpecahan Mangkubumi-RM Said.
• 1754, Nicolas Hartingh menyerukan gencatan senjata dan perdamaian. 23 September, Nota Kesepahaman Mangkubumi-Hartingh. 4 November, PB III meratifikasi nota kesepahaman. Batavia walau keberatan tidak punya pilihan lain selain meratifikasi nota yang sama.
• 1755, 13 Februari, Perjanjian Palihan Nagari di desa Giyanti. P Mangkubumi mengambil gelar baru: Sampeyan Ingkang Ndalem Sinuwun Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing-Ngalaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama Khalifatullah. Yudonegoro, Gubernur Banyumas, menjadi Pepatih Dalem Danurejo I.
• 1756, 7 Oktober, Sultan HB I menempati istana barunya yang diberi nama Ngayogyakarta.
• 1773, Angger Aru-biru yang menjadi acuan dalam peradilan yang pertama disahkan.
• 1774, Putra mahkota (kelak HB II) menulis buku Serat Raja Surya yang kemudian menjadi pusaka.
• 1785, Perbentengan besar bergaya di sekeliling istana dibangun secara mendadak dan diselesikan dalam 2 tahun.
• 1792, HB I wafat. Sultan HB II berusaha mengabaikan control VOC.
• 1799, Danurejo I wafat dan diganti cucunya dengan gelar Danurejo II.
Abad ke-19
• 1808, 28 Juli, Daendels mengeluarkan peraturan baru tentang penggantian residen dengan minister dan perubahan kedudukannya yang sejajar dengan Sultan dan Sunan.
• 1810, Awal prahara politik Yogyakarta yang akan berlangsung sampai 1830. HB II menolak mentah-mentah kebijakan Daendels mengenai perubahan kedudukan minister. Danurejo II dipecat dan digantikan oleh Notodiningrat (PA II). Atas tekanan Daendels Danurejo II mendapatkan kembali kedudukannya. 31 Desember Daendels memberhentikan HB II dengan kekuatan militer dan mengangkat putra mahkota menjadi HB III serta merampas kekayaan istana.
• 1811, Daendels menghapus uang sewa pesisir yang menjadi pemasukan keuangan negara. September/Oktober, HB II merebut kembali tahtanya. HB III dikembalikan dalam posisi putra mahkota. Oktober Danurejo II dibunuh di istana. Sindunegoro (Danurejo III) menjadi Pepatih Dalem.
• 1812, 18 Juli-20 Juli, Kolonel Gillespie memimpin pasukan Inggris menyerang Yogyakarta. HB II dimakzulkan dan dibuang ke Penang (wilayah Malaysia sekarang). 1 Agustus, HB III menandatangani perubahan pemerintahan dan demiliterisasi birokrasi kerajaan.
• 1813, 13 Maret, Notokusumo diangkat menjadi Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam yang mengepalai sebuah principality yang terlepas dari Yogyakarta. Sindunegoro diganti oleh Bupati Jipan yang bergelar Danurejo IV.
• 1814, Sultan HB III wafat, putra mahkota yang masih berusia 9/10 tahun diangkat menjadi HB IV. PA I yang tidak disukai oleh istana ditunjuk Inggris menjadi wali sampai 1821.
• 1816, Inggris menyerahkan kembali daerah jajahan kepada Hindia Belanda.
• 1817, 6 Oktober Kitab Angger-angger sebagai Kitab Undang-undang Hukum (KUH) ditetapkan bersama Yogyakarta dan Surakarta.
• 1823, HB IV dibunuh oleh seorang agen Belanda. Putra mahkota yang masih berusia 3(4) diangkat menjadi HB V. Sebuah dewan perwalian yang terdiri atas Ibu Suri, Nenek Suri, P. Mangkubumi, P Diponegoro dan Danurejo IV dibentuk.
• 1825, Belanda menyerang kediaman P Diponegoro mengawali perang Jawa 1825-1830. Banyak bangsawan Yogyakarta mendukung P Diponegoro.
• 1826, HB II dipulangkan dari Ambon untuk meredakan perang namun tidak membawa hasil.
• 1828, HB II wafat, HB V kembali diangkat di bawah dewan perwalian baru.


Kasultanan pada tahun 1830 (berwarna hijau dan berada di sebelah selatan)
• 1830, Akhir perang Diponegoro. Seluruh Mancanegara Yogyakarta dirampas Belanda sebagai pertanggungjawaban atas meletusnya perang. 27 September, Perjanjian Klaten menentukan tapal yang tetap antara Surakarta dan Yogyakarta. 24 Oktober, HB V meratifikasi Perjanjian Klaten.
• 1831, 11 Juni Perubahan struktur peradilan Kesultanan Yogyakarta.
• 1848, Peraturan yang mengharuskan Sultan memenuhi kebutuhan kayu keras pemerintah jajahan di tetapkan.
• 1855, HB V wafat. Adiknya diangkat menjadi HB VI.
• 1868, Gempa besar menghancurkan bangunan penting.
• 1877, HB VI wafat digantikan putranya HB VII.
• 1883, Seorang pangeran dari Yogyakarta berupaya memberontak dan gagal.
Abad ke-20
• 1904, Hindia Belanda mengambil alih penguasaan dan pengelolaan atas hutan di wilayah Kesultanan.
• 1908, 20 Mei, Budi Utomo didirikan oleh Mas Ngabehi Wahidin Sudirohusodo, seorang pegawai kesehatan.
• 1912, 18 November, Muhammadiyah didirikan oleh Mas Ketib Amin Haji Ahmad Dahlan, seorang Imam Kerajaan.
• 1915, APBN Kesultanan Yogyakarta mulai dipisah menjadi dua APBN.
• 1916, Pengadilan Bale Mangu dihapus oleh Hindia Belanda.
• 1917, Pengadilan Pradoto dihapus oleh Hindia Belanda.
• 1918, Perubahan hak atas tanah di wilayah Kesultanan.
• 1921, Sultan HB VIII bertahta. Kesultanan Yogyakarta memiliki dua APBN.
• 1922, Taman Siswa didirikan oleh Ki Hajar Dewantara, seorang kerabat Paku Alaman.
• 1933, 30 November, Danurejo VIII dilantik menggantikan Danurejo VII.
• 1940, 18 Maret, Sultan HB IX menandatangani Kontrak Politik terakhir dengan Hindia Belanda.
• 1942, Maret, Jepang datang. 1 Agustus, Sultan HB IX diangkat menjadi Koo atas Yogyakarta Kooti.
• 1943, Sultan membentuk Paniradya untuk mengurangi kekuasaan Pepatih Dalem.


Peta tahun 1945
• 1945, 15 Juli, Danurejo VIII diberhetikan karena pensiun. 1 Agustus, Restorasi HB IX. 5 September, Kesultanan Yogyakarta berintegrasi dengan Indonesia. 30 Oktober, HB IX dan PA VIII menyerahkan kekuasaan legeslatif kepada BP KNID Yogyakarta.
• 1946, 4 Januari, kedudukan Pemerintah Indonesia dipindah ke Yogyakarta atas jaminan kesultanan. 18 Mei, Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta oleh Kesultanan dan Paku Alaman.
• 1947, Pengadilan Darah Dalem dihapus oleh Pemerintah Indonesia.
• 1950, 4 Maret, Daerah Kesultanan Yogyakarta dan Daerah Paku Alaman ditetapkan menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta, sebuah daerah berotonomi khusus setingkat provinsi, dan mulai berlaku pada 15 Agustus.
• 1965, 1 September, Daerah Istimewa Yogyakarta dijadikan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
• 1988, Sultan HB IX wafat.
31. Praja Mangkunagaran
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas





Praja Mangkunagaran (atau Mangkunegaran) dibentuk berdasarkan Perjanjian Salatiga yang ditandatangani pada tahun 1757 sebagai solusi atas perlawanan yang dilakukan Raden Mas Said (atau Pangeran Sambernyawa, kelak menjadi Mangkunagara I) terhadap Sunan Pakubuwana III. Raden Mas Said mendapat wilayah yang mencakup sebagian dari bekas Mataram sisi sebelah timur, berdasarkan Perjanjian Giyanti (1755). Jumlah wilayah ini secara relatif adalah 49% wilayah Kasunanan Surakarta setelah tahun 1830 pada berakhirnya Perang Diponegoro atau Perang Jawa. Wilayah itu kini mencakup bagian utara Kota Surakarta (Kecamatan Banjarsari, Surakarta), seluruh wilayah Kabupaten Karanganyar, seluruh wilayah Kabupaten Wonogiri, dan sebagian dari wilayah Kecamatan Ngawen dan Semin di Kabupaten Gunung Kidul.
Penguasa Mangkunegaran, berdasarkan perjanjian pembentukannya, berhak menyandang gelar Pangeran (secara formal disebut Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya, mirip dengan Fürst di Jerman) tetapi tidak berhak menyandang gelar Sunan atau pun Sultan. Status yang berbeda ini tercermin dalam beberapa tradisi yang masih berlaku hingga sekarang, seperti jumlah penari bedaya yang tujuh, bukan sembilan seperti pada Kasunanan Surakarta. Setelah kemerdekaan Indonesia, Mangkunegara VIII (penguasa pada waktu itu) menyatakan bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Secara tradisional penguasanya disebut Mangkunagara (baca: 'Mangkunagoro'). Raden Mas Said merupakan Mangkunagara I. Saat ini yang memegang kekuasaan adalah Mangkunagara IX. Penguasa Mangkunegaran berkedudukan di Pura Mangkunegaran, yang terletak di Kota Surakarta.
Para penguasa Mangkunegaran tidak dimakamkan di Astana Imogiri melainkan di Astana Mangadeg dan Astana Girilayu, yang terletak di lereng Gunung Lawu. Perkecualian adalah lokasi makam dari Mangkunegara VI, yang dimakamkan di tempat tersendiri.
Warna resmi Mangkunagaran adalah hijau dan kuning emas serta dijuluki "pareanom" ('padi muda'), yang dapat dilihat pada lambang, bendera, pataka, serta sindur yang dikenakan abdi dalem atau kerabat istana.
32. Kadipaten Paku Alaman
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas










Kadipaten Paku Alaman adalah negara dependen yang berbentuk kerajaan. Kedaulatan dan kekuasaan pemerintahan negara diatur dan dilaksanakan menurut perjanjian/kontrak politik yang dibuat oleh negara induk bersama-sama negara dependen. Sebagai konsekuensi dari bentuk negara kesatuan yang dipilih oleh Republik Indonesia sebagai negara induk, maka pada tahun 1950 status negara dependen Kadipaten Pakualaman (bersama-sama dengan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat) diturunkan menjadi daerah istimewa setingkat provinsi dengan nama Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pembentukan
Kadipaten Paku Alaman atau Negeri Paku Alaman atau Praja Paku Alaman didirikan pada tanggal 17 Maret 1813, ketika Pangeran Notokusumo, putra dari Sultan Hamengku Buwono I dengan Permaisuri Srenggorowati dinobatkan oleh Gubernur-Jenderal Sir Thomas Raffles (Gubernur Jendral Britania Raya yang memerintah saat itu) sebagai Kangjeng Gusti Pangeran Adipati[2][3] Paku Alam I. Status kerajaan ini mirip dengan status Praja Mangkunagaran di Surakarta.
Pemerintahan umum
Negeri Paku Alaman, Daerah Paku Alaman, Praja Paku Alaman, Kadipaten Paku Alaman adalah nama resmi yang dipergunakan oleh monarki terkecil di Jawa Tengah bagian selatan. Monarki yang didirikan pada tahun 1813 itu berbentuk Monarki kepangeranan (Principality)[4]. Pemerintahan dijalankan oleh Pepatih Paku Alaman bersama-sama Residen/Gubernur Hindia Belanda untuk Yogyakarta.
Status Paku Alaman berganti-ganti seiring dengan perjalanan waktu. Pada 1813-1816 merupakan negara dependen dibawah Pemerintah Kerajaan Inggris India Timur (East Indian). Selanjutnya tahun 1816-1942 merupakan negara dependen Kerajaan Nederland, dengan status Zelfbestuurende Landschappen Hindia Belanda. Dari 1942 sampai 1945 merupakan bagian dari Kekaisaran Jepang dengan status Kooti dibawah pengawasan Penguasa Militer Tentara XVI Angkatan Darat.
Mulai tahun 1945 Negeri kecil ini bergabung dan menjadi daerah Indonesia. Kemudian dengan Kasultanan Yogyakarta membentuk pemerintahan bersama sampai tahun 1950 saat secara resmi keduanya dijadikan sebuah daerah istimewa bukan lagi sebagai sebuah negara.
Perekonomian
Seperti banyak kerajaan di pulau Jawa pada umumnya, kegiatan perekonomian Negeri Paku Alaman di dominasi dengan pertanian dan sedikit perdagangan. Pernah tercatat negeri ini mempunyai beberapa pabrik gula di Kabupaten Adikarto.
Budaya
Negeri Paku Alaman berusaha mengembangkan budaya yang mempunyai ciri berbeda dengan Kesultanan untuk menunjukkan independensi status pricipality-nya. Hal ini dapat dilihat misalnya dari bentuk pakaian tradisional yang dikenakan. Pengembangan budaya ini dimulai sejak Paku Alam II
[sunting] Pertahanan dan Keamanan
Pertahanan secara umum dikendalikan oleh pihak Hindia Belanda. Kadipaten ini diperkenankan memelihara sepasukan kecil yang digunakan untuk memelihara keamanan dan upacara kerajaan.
33. Kesultanan Malaka
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Peta Kesultanan Melaka.
Kesultanan Melaka (1402 - 1511) adalah sebuah kesultanan yang didirikan oleh Parameswara, seorang putra Melayu berketurunan Sriwijaya.
Parameswara merupakan turunan ketiga dari Sri Maharaja Sang Utama Parameswara Batara Sri Tri Buana (Sang Nila Utama), seorang penerus raja Sriwijaya[1]. Sang Nila Utama mendirikan Singapura Lama dan berkuasa selama 48 tahun. Kekuasaannya dilanjutkan oleh putranya Paduka Sri Pekerma Wira Diraja (1372 – 1386) yang kemudian diteruskan oleh cucunya, Paduka Seri Rana Wira Kerma (1386 – 1399). Pada tahun 1401, Parameswara putra dari Seri Rana Wira Kerma, mengungsi dari Tumasik setelah mendapat penyerangan dari Majapahit.[2].
Ibu kota kerajaan ini terdapat di Melaka, yang terletak pada Selat Malaka. Kesultanan ini berkembang pesat menjadi sebuah entrepot dan menjadi pelabuhan terpenting di Asia Tenggara pada abad ke-15 dan awal 16. Malaka runtuh setelah ibukotanya direbut oleh Portugis pada tahun 1511.

Kejayaan yang dicapai oleh Kerajaan Melaka di sebabkan oleh beberapa faktor penting yaitu, Parameswara telah mengambil kesempatan untuk menjalinkan hubungan baik dengan negara Cina ketika Laksamana Yin Ching mengunjungi Melaka pada tahun 1403. Salah seorang dari sultan Malaka telah menikahi seorang putri dari negara Cina yang bernama Putri Hang Li Po. Hubungan erat antara Melaka dengan Cina telah memberi banyak manfaat kepada Malaka. Malaka mendapat perlindungan dari Cina yang merupakan pemegang kekuasaan terbesar di dunia pada masa itu untuk menghindari serangan Siam.
Sejarah
Parameswara pada awalnya menjadi raja di Singapura pada tahun 1390-an. Negeri ini kemudian diserang oleh Jawa dan Siam, yang memaksanya pinda lebih ke utara. Kronik Dinasti Ming mencatat Parameswara telah tinggal di ibukota baru di Melaka pada 1403, tempat armada Ming yang dikirim ke selatan menemuinya. Sebagai balasan upeti yang diberikan Kekaisaran Cina menyetujui untuk memberikan perlindungan pada kerajaan baru tersebut. [3]
Parameswara kemudian menganut agama Islam setelah menikahi putri Pasai. Laporan dari kunjungan Laksamana Cheng Ho pada 1409 menyiratkan bahwa pada saat itu Parameswara masih berkuasa, dan raja dan rakyat Melaka sudah menjadi muslim. [4]. Pada 1414 Parameswara digantikan putranya, Megat Iskandar Syah.[3][4]
Megat Iskandar Syah memerintah selama 10 tahun, dan digantikan oleh Muhammad Syah. Putra Muhammad Syah yang kemudian menggantikannya, Raja Ibrahim, tampaknya tidak menganut agama Islam, dan mengambil gelar Seri Parameswara Dewa Syah. Namun masa pemerintahannya hanya 17 bulan, dan dia mangkat karena terbunuh pada 1445. Saudara seayahnya, Raja Kasim, kemudian menggantikannya dengan gelar Sultan Mudzaffar Syah.
Di bawah pemerintahan Sultan Mudzaffar Syah Melaka melakukan ekspansi di Semenanjung Malaya dan pantai timur Sumatera (Kampar dan Indragiri). Ini memancing kemarahan Siam yang menganggap Melaka sebagai bawahan Kedah, yang pada saat itu menjadi vassal Siam. Namun serangan Siam pada 1455 dan 1456 dapat dipatahkan.
Di bawah pemerintahan raja berikutnya yang naik tahta pada tahun 1459, Sultan Mansur Syah, Melaka menyerbu Kedah dan Pahang, dan menjadikannya negara vassal. Di bawah sultan yang sama Johor, Jambi dan Siak juga takluk. Dengan demikian Melaka mengendalikan sepenuhnya kedua pesisir yang mengapit Selat Malaka.
Mansur Syah berkuasa sampai mangkatnya pada 1477. Dia digantikan oleh putranya Alauddin Riayat Syah. Sultan memerintah selama 11 tahun, saat dia meninggal dan digantikan oleh putranya Sultan Mahmud Syah. [5]
Mahmud Syah memerintah Malaka sampai tahun 1511, saat ibu kota kerajaan tersebut diserang pasukan Portugis di bawah pimpinan Alfonso de Albuquerque. Serangan dimulai pada 10 Agustus 1511 dan berhasil direbut pada 24 Agustus 1511. Sultan Mahmud Syah melarikan diri ke Bintan dan mendirikan ibukota baru di sana. Pada tahun 1526 Portugis membumihanguskan Bintan, dan Sultan kemudian melarikan diri ke Kampar, tempat dia wafat dua tahun kemudian. Putranya Muzaffar Syah kemudian menjadi sultan Perak, sedangkan putranya yang lain Alauddin Riayat Syah II mendirikan kerajaan baru yaitu Johor.
Daftar raja-raja Malaka
1. Parameswara (1402-1414)
2. Megat Iskandar Syah (1414-1424)
3. Sultan Muhammad Syah (1424-1444)
4. Seri Parameswara Dewa Syah(1444-1445)
5. Sultan Mudzaffar Syah (1445-1459)
6. Sultan Mansur Syah (1459-1477)
7. Sultan Alauddin Riayat Syah (1477-1488)
8. Sultan Mahmud Syah (1488-1528)
34. Kesultanan Samudera Pasai
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kesultanan Samudera Pasai, juga dikenal dengan Samudera, Pasai, atau Samudera Darussalam, adalah kerajaan Islam yang terletak di pesisir pantai utara Sumatera, kurang lebih di sekitar Kota Lhokseumawe, Aceh Utara sekarang. Kerajaan ini didirikan oleh Marah Silu, yang bergelar Malik al-Saleh, pada sekitar tahun 1267 dan berakhir dengan dikuasainya Pasai oleh Portugis pada tahun 1521. Raja pertama bernama Sultan Malik as-Saleh yang wafat pada tahun 696 H atau 1297 M[1], kemudian dilanjutkan pemerintahannya oleh Sultan Malik at-Thahir.
Kesultanan Samudera-Pasai juga tercantum dalam kitab Rihlah ila l-Masyriq (Pengembaraan ke Timur) karya Abu Abdullah ibn Batuthah (1304–1368), musafir Maroko yang singgah di Samudera pada tahun 1345. Ibn Batuthah bercerita bahwa Sultan Malik az-Zahir di negeri Samatrah menyambutnya dengan penuh keramahan. Menurut Ibn Batuthah, penduduk Samatrah (Samudera) menganut mazhab Syafi`i[2].
Belum begitu banyak bukti dan berita tentang kerajaan ini untuk dapat digunakan sebagai bahan kajian sejarah[3].
35. Kesultanan Banjar
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Kesultanan Banjarmasin)
Langsung ke: navigasi, cari
Kesultanan Banjar

Lokasi ibu kota terakhir Kesultanan Banjar tahun 1860 di Kampung Sungai Mesa, Banjarmasin, Kalimantan Selatan

Berdiri 1526-1860

Didahului oleh Kerajaan Negara Daha

Digantikan oleh Pagustian

Ibu kota
Kuin, Banjarmasin
Muara Tambangan, Martapura
Batang Banyu, Martapura
Kayu Tangi (Karang Intan)
Sungai Mesa, Banjarmasin

Bahasa
Banjar

Agama
Islam Sunni mazhab Syafi'i (resmi)
Kaharingan
Konghucu
Nasrani

Pemerintahan
-Sultan pertama
-Sultan terakhir Monarki
Sultan Suriansyah (1526-1550)
Sultan Muhammad Seman (1862-1905)

Sejarah
-Didirikan
-Zaman kejayaan
-Krisis suksesi
1526
1626-1857
1857



Profil Bangsawan Banjar sekitar tahun 1850 koleksi Museum Lambung Mangkurat.


Profil gadis Banjar sekitar tahun 1850 koleksi Museum Lambung Mangkurat.
Kesultanan Banjar (24 September 1526 s.d 11 Juni 1860) adalah kesultanan yang terdapat di Kalimantan Selatan. Kesultanan ini semula beribukota di Banjarmasin kemudian dipindahkan ke Martapura dan sekitarnya (kabupaten Banjar). Ketika beribukota di Martapura disebut juga Kerajaan Kayu Tangi.
Ketika ibukotanya masih di Banjarmasin, maka kesultanan ini disebut Kesultanan Banjarmasin. Kesultanan Banjar merupakan penerus dari Kerajaan Negara Daha yaitu kerajaan Hindu yang beribukota di kota Negara, sekarang merupakan ibukota kecamatan Daha Selatan, Hulu Sungai Selatan.
Sejarah
Menurut mitologi suku Maanyan suku tertua di Kalimantan Selatan kerajaan pertama adalah Kerajaan Nan Sarunai yang diperkirakan wilayah kekuasaannya terbentang luas mulai dari daerah Tabalong hingga ke daerah Pasir. Keberadaan mitologi Maanyan yang menceritakan tentang masa-masa keemasan Kerajaan Nan Sarunai sebuah kerajaan purba yang dulunya mempersatukan etnis Maanyan di daerah ini dan telah melakukan hubungan dengan pulau Madagaskar. Salah satu peninggalan arkeologis yang berasal dari zaman ini adalah Candi Agung yang terletak di kota Amuntai. Pada tahun 1996, telah dilakukan pengujian C-14 terhadap sampel arang Candi Agung yang menghasilkan angka tahun dengan kisaran 242-226 SM (Kusmartono dan Widianto, 1998:19-20).
Menilik dari angka tahun dimaksud maka Kerajaan Nan Sarunai/Kerajaan Tabalong/Kerajaan Tanjungpuri usianya lebih tua 600 tahun dibandingkan dengan Kerajaan Kutai Martapura di Kalimantan Timur.
Menurut Hikayat Sang Bima, wangsa yang menurunkan raja-raja Banjar adalah Sang Dewa (Sadewa) bersaudara dengan wangsa yang menurunkan raja-raja Bima (Sang Bima), raja-raja Bali, raja-raja Makassar yang terdiri lima bersaudara Pandawa (Sang Bima, Sang Dewa, Sang Kula,..).
Sesuai Tutur Candi (Hikayat Banjar versi II), di Kalimantan Selatan telah berdiri suatu pemerintahan dari dinasti kerajaan (keraton) yang terus menerus berlanjut hingga daerah ini digabungkan ke dalam Hindia Belanda sejak 11 Juni 1860, yaitu :
1. Keraton awal disebut Kerajaan Kuripan
2. Keraton I disebut Kerajaan Negara Dipa
3. Keraton II disebut Kerajaan Negara Daha
4. Keraton III disebut Kesultanan Banjar
5. Keraton IV disebut Kerajaan Martapura/Kayu Tangi
Maharaja Sukarama, Raja Negara Daha telah berwasiat agar penggantinya adalah cucunya Raden Samudera, anak dari putrinya Puteri Galuh Intan Sari. Ayah dari Raden Samudera adalah Raden Manteri Jaya, putra dari Raden Begawan, saudara Sukarama. Wasiat tersebut menyebabkan Raden Samudera terancam keselamatannya karena para Pangeran juga berambisi sebagai pengganti Sukarama yaitu Pangeran Bagalung, Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Tumenggung. Sepeninggal Sukarama, Pangeran Mangkubumi putra Sukarama menjadi Raja Negara Daha, selanjutnya digantikan Pangeran Tumenggung yang juga putra Sukarama. Raden Samudera sebagai kandidat raja dalam wasiat Sukarama terancam keselamatannya, tetapi berkat pertolongan Arya Taranggana, mangkubumi kerajaan Daha, ia berhasil lolos ke hilir sungai Barito, kemudian ia dijemput oleh Patih Masih (Kepala Kampung Banjarmasih) dan dijadikan raja Banjarmasih sebagai upaya melepaskan diri dari Kerajaan Negara Daha dengan mendirikan bandar perdagangan sendiri dan tidak mau lagi membayar upeti. Pangeran Tumenggung, raja terakhir Kerajaan Negara Daha akhirnya menyerahkan regalia kerajaan kepada keponakannya Pangeran Samudera, Raja dari Banjarmasih. Setelah mengalami masa peperangan dimana Banjar mendapat bantuan dari daerah pesisir Kalimantan dan Kesultanan Demak. Hasil akhirnya kekuasaan kerajaan beralih kepada Pangeran Samudera yang menjadi menjadi Sultan Banjar yang pertama, sementara Pangeran Tumenggung mundur ke daerah Alay di pedalaman dengan seribu penduduk.
Kesultanan Banjar mulai mengalami masa kejayaan pada dekade pertama abad ke-17 dengan lada sebagai komoditas dagang, secara praktis barat daya, tenggara dan timur pulau Kalimantan membayar upeti pada kerajaan Banjarmasin. Sebelumnya Kesultanan Banjar membayar upeti kepada Kesultanan Demak, tetapi pada masa Kesultanan Pajang penerus Kesultanan Demak, Kesultanan Banjar tidak lagi mengirim upeti ke Jawa.
Supremasi Jawa terhadap Banjarmasin, dilakukan lagi oleh Tuban pada tahun 1615 untuk menaklukkan Banjarmasin dengan bantuan Madura dan Surabaya, tetapi gagal karena mendapat perlawanan yang sengit.
Sultan Agung dari Mataram (1613–1646), mengembangkan kekuasaannya atas pulau Jawa dengan mengalahkan pelabuhan-pelabuhan pantai utara Jawa seperti Jepara dan Gresik (1610), Tuban (1619), Madura (1924) dan Surabaya (1625). Pada tahun 1622 Mataram kembali merencanakan program penjajahannya terhadap kerajaan sebelah selatan, barat daya dan tenggara pulau Kalimantan, dan Sultan Agung menegaskan kekuasaannya atas Kerajaan Sukadana tahun 1622.
Seiring dengan hal itu, karena merasa telah memiliki kekuatan yang cukup dari aspek militer dan ekonomi untuk menghadapi serbuan dari kerajaan lain, Sultan Banjar mengklaim Sambas, Lawai, Sukadana, Kotawaringin, Pembuang, Sampit, Mendawai, Kahayan Hilir dan Kahayan Hulu, Kutai, Pasir, Pulau Laut, Satui, Asam Asam, Kintap dan Swarangan sebagai vazal dari kerajaan Banjarmasin, hal ini terjadi pada tahun 1636.
Sejak tahun 1631 Banjarmasin bersiap-siap menghadapi serangan Kesultanan Mataram, tetapi karena kekurangan logistik, maka rencana serangan dari Kesultanan Mataram sudah tidak ada lagi. Sesudah tahun 1637 terjadi migrasi dari pulau Jawa secara besar-besaran sebagai akibat dari korban agresi politik Sultan Agung. Kedatangan imigran dari Jawa mempunyai pengaruh yang sangat besar sehingga pelabuhan-pelabuhan di pulau Kalimantan menjadi pusat difusi kebudayaan Jawa.
Disamping menghadapi rencana serbuan-serbuan dari Mataram, kesultanan Banjarmasin juga harus menghadapi kekuatan Belanda.
Sebelum dibagi menjadi beberapa daerah (kerajaan kecil), wilayah asal Kesultanan Banjar meliputi provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, sebelah barat berbatasan dengan Kerajaan Tanjungpura dan sebelah timur berbatasan dengan Kesultanan Pasir. Pada daerah-daerah pecahan tersebut, rajanya bergelar Pangeran, hanya di Kesultanan Banjar yang berhak memakai gelar Sultan. Kesultanan-kesultanan lainnya mengirim upeti kepada Kesultanan Banjar, termasuk Kesultanan Pasir yang ditaklukan tahun 1636 dengan bantuan Belanda.
Wilayah
Kesultanan Banjar bertindak sebagai wakil Kesultanan Demak di Kalimantan, sedangkan Demak adalah penerus Majapahit. Menurut Hikayat Banjar sejak jaman pemerintahan kerajaan Hindu, wilayah yang termasuk mandala Kerajaan Banjar meliputi daerah taklukan paling barat adalah negeri Sambas/Kerajaan Sambas sedangkan wilayah taklukan paling timur adalah negeri Karasikan/Kerajaan Tidung lebih kurang sama dengan wilayah Borneo-Belanda. Dahulu kala batas-batas negeri/kerajaan adalah antara satu tanjung dengan tanjung lainnya sedangkan penduduk daerah pedalaman dianggap takluk kepada kerajaan bandar yang ada di hilir misalnya suku Biaju (rumpun Dayak Barito) merupakan bagian dari rakyat kerajaan Banjar bahkan menjadi tentara kerajaan yang handal. Kerajaan Banjar tidak pernah mengklaim Kalimantan bagian utara, dan sejauh ini juga belum pernah ditemukan catatan bahwa Kesultanan Banjar mengirim upeti kepada Kesultanan Brunei sebagai penguasa wilayah utara Kalimantan. Suku Banjar merupakan kelompok masyarakat Melayu yang terbanyak di Kalimantan, bahkan jika dibanding dengan suku Brunei. Kesultanan Banjar mengalami masa kejayaan pada abad ke-17, yang pada masa itu belum banyak suku pendatang yang mendominasi seperti saat ini seperti suku Jawa, Bugis, Mandar, Arab dan Cina.
Teritorial Kerajaan Banjar pada abad ke-16 dalam tiga wilayah meskipun terminologi ini tidak dipergunakan dalam sistem politik dan pemerintahan dalam kerajaan, yaitu :
1. Negara Agung
2. Mancanegara
3. Pesisir
Wilayah kerajaan Banjar meliputi titik pusat yaitu istana raja di Martapura dan berakhir pada titik luar dari negeri Sambas sampai ke negeri Karasikan. Terminologi wilayah Tanah Seberang, tidak ada dalam Kesultanan Banjar, karena tidak memiliki jajahan di luar pulau, walaupun orang Banjar juga merantau sampai keluar pulau Kalimantan.[1]
Kerajaan Banjar menaungi hingga ke wilayah Sungai Sambas adalah dari awal abad ke-15 M hingga pertengahan abad ke-16 M yaitu pada masa Kerajaan Melayu hindu Sambas yang menguasai wilayah Sungai Sambas. Kerajaan Melayu hindu Sambas ini kemudian runtuh pada pertengahan abad ke-16 M dan dilanjutkan dengan Panembahan Sambas hindu yang merupakan keturunan Bangsawan Majapahit dari Wikramawadhana. Pada saat memerintah Panembahan Sambas hindu ini bernaung dibawah Dipati/Panembahan Sukadana (bawahan Sultan Banjar) sampai awal abad ke-17 M yang kemudian beralih bernaung dibawah Kesultanan Johor. Panembahan Sambas hindu ini kemudian runtuh pada akhir abad ke-17 M dan digantikan dengan Kesultanan Sambas yang didirikan oleh keturunan Sultan Brunei melalui Sultan Tengah pada tahun 1675 M. Sejak berdirinya Kesultanan Sambas hingga seterusnya Kesultanan Sambas adalah berdaulat penuh yaitu tidak pernah bernaung atau membayar upeti kepada pihak manapun kecuali pada tahun 1855 yaitu dikuasai / dikendalikan pemerintahannya oleh Hindia Belanda (seperti juga Kerajaan-Kerajaan lainnya diseluruh Nusantara terutama di Pulau Jawa yang saat itu seluruhnya yang berada dibawah Pemerintah Hindia Belanda di Batavia) yaitu pada masa Sultan Sambas ke-12(Sultan Umar Kamaluddin).
Dalam perjalanan sejarah ketetapan wilayah Kesultanan Banjar tersebut tidak dapat dilihat dengan jelas dengan batas yang tetap karena dipengaruhi oleh keadaan yang tidak stabil dan batas wilayah yang fleksibel disebabkan oleh berkembangnya atau menurunnya kekuasaan Sultan Banjar.
• Daerah Martapura sebagai Kota Raja merupakan wilayah/ring pertama dan pusat pemeritahan Sultan Banjar.
• Wilayah teritorial/ring kedua, Negara Agung terdiri dari :
1. Tabuniau, atau Tanah Laut, daerah laut, kebalikan arah dari "tanah darat".
2. Daerah Banjar Lama dengan Pelabuhan Banjarmasin (Tatas).
3. Banua Ampat artinya banua nang empat: Banua Padang, Banua Halat, Banua Parigi dan Banua Gadung.
4. Margasari
5. Alay
6. Amandit
7. Banua Lima artinya lalawangan nang lima: Negara, Alabio, Sungai Banar, Amuntai dan Kalua
8. Muarabahan (atau Pulau Bakumpai yaitu tebing barat sungai Barito dari muara hingga dekat Mengkatip).
9. Tanah Dusun (daerah hulu sungai Barito, Sultan Tahmidullah II pada 13 Agustus 1787 menyerahkan Dusun Atas menjadi milik VOC tetapi daerah Mengkatip (Dusun Bawah) dan Tamiang Layang (Dusun Timur) dan sekitarnya tetap sebagai wilayah inti Kesultanan Banjar).
Teritorial Negara Agung ini semakin berkurang dan tidak mempunyai akses ke laut Jawa terkepung oleh wilayah Hindia Belanda ketika pada tanggal 4 Mei 1826 Sultan Adam menyerahkan lagi kepada Hindia Belanda : Pulau Tatas, Kuin Selatan, Pulau Bakumpai dan Pulau Burung.
• Teritorial/ring ketiga, yaitu Mancanegara, dengan tambahan kedua wilayah ini teritorial kerajaan semakin meluas disebut Borneo Selatan terdiri dari :
o Wilayah Barat (Kalimantan Tengah): Biaju, Kahayan, Sebangau, Mendawai, Sampit, Pembuang, Kotawaringin dan Jelai dalam Hikayat Banjar semua daerah ini dibawah Kotawaringin, pada akhir abad ke-19 Hindia Belanda menjadikannya Afdeeling Tanah Dayak dan Afdeeling Sampit.
o Wilayah Timur : Swarangan, Asam-Asam, Kintap, Satui, Laut-Pulau, Pamukan dan Pasir; dalam Hikayat Banjar abad ke-17 semua daerah ini dibawah Pasir, yang kemudian muncul pecahannya Kerajaan Tanah Bumbu (serta Tanah Kusan). Pada akhir abad ke-19 Hindia Belanda menjadikannya Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe dengan 11 swapraja termasuk wilayah Kesultanan Pasir itu sendiri dan bekas kerajaan Tanah Bumbu atau daerah Kalimantan Tenggara pada 1863 berkembang menjadi 10 swapraja : Sabamban, Koensan, Pegatan, Batoe Litjin, Poelau Laoet, Bangkalaan, Tjangtoeng, Sampanahan, Manoenggoel dan Tjingal, sebenarnya ada satu daerah lagi yang sudah dihapuskan yaitu Buntar-Laut.
• Teritorial/ring keempat, yaitu Pesisir, dengan tambahan kedua wilayah ini teritorial kerajaan semakin bertambah luas lebih kurang sama dengan Provinsi Borneo pada masa kolonial Hindia Belanda. Perjanjian Sultan Tamjidullah I dengan VOC pada 20 Oktober 1756 untuk menaklukan kembali Sanggau, Sintang, Lawai, Pasir, Kutai dan Berau. Daerah Pesisir terdiri dari :
o Pesisir Timur yang sering disebut tanah yang di atas angin yang wilayahnya lebih kurang sama dengan kawasan Borneo Timur dan jika digabung dengan kawasan Borneo Selatan menjadi Karesidenan Selatan dan Timur Borneo pada masa kolonial Hindia Belanda.
 Wilayah Kesultanan Kutai.
 Wilayah Kesultanan Berau (serta bawahannya Kesultanan Bulungan).
 Wilayah terluar yaitu Karasikan atau Kerajaan Tidung/Kaltara (bawahan Berau) dan pantai sebelah Timur.
o Pesisir Barat yang disebut tanah yang di bawah angin, yang wilayahnya lebih kurang sama dengan Karesidenan Borneo Barat.
 Wilayah Kerajaan Sukadana (serta cabangnya Kerajaan Tayan, Kerajaan Meliau serta Kerajaan Mempawah). Terakhir kalinya Sukadana mengantar upeti tahun 1661, kemudian Sukadana menjadi vazal Kesultanan Banten. Raja Kotawaringin sebagai bawahan langsung Sultan Banjar pernah menaklukan kembali negeri Matan/Sukadana, Lawai dan Jelai, tetapi daerah tersebut kemudian berhasil memerdekakan diri.
 Wilayah Batang Lawai atau sungai Kapuas (Kerajaan Sanggau, Kerajaan Sintang dan Lawai). Negeri Sintang (Kabupaten Sintang dan Kapuas Hulu), Lawai (Kabupaten Melawi) dan Jelai pada tahun 1826 termasuk daerah yang diserahkan kepada Hindia Belanda.
 Wilayah terluar yaitu Kerajaan Sambas dan pantai sebelah Barat. Menurut Hikayat Banjar, sejak era pemerintahan kerajaan Banjar-Hindu, wilayah Sambas menjadi taklukannya dan terakhir kalinya Dipati/Panembahan Sambas mengantar upeti dua biji intan yang besar yaitu si Misim dan si Giwang kepada Sultan Banjar IV Marhum Panembahan (1595-1638), kemudian mulai tahun 1675 negeri Sambas diperintah oleh Dinasti Brunei dengan nama Kesultanan Sambas. Intan Si Misim kemudian dipersembahkan kepada Sultan Agung dari Mataram. Sultan Banjar Sunan Batu dibantu Raja Kotawaringin telah melancarkan peperangan tetapi tidak berhasil untuk menaklukan negeri Sambas kembali.
Pada abad ke-18 Pangeran Tamjidullah I berhasil memindahkan kekuasaan pemerintahan kepada dinastinya dan menetapkan Pangeran Nata Dilaga sebagai Sultan yang pertama sebagai Panembahan Kaharudin Khalilullah. Pangeran Nata Dilaga yang menjadi raja pertama dinasti Tamjidullah I dalam masa kejayaan kekuasaannya, menyebutkan dirinya Susuhunan Nata Alam pada tahun 1772. Putera dari Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah yang bernama Pangeran Amir, atau cucu Sultan Hamidullah melarikan diri ke negeri Pasir, dan meminta bantuan pada pamannya yang bernama Arung Tarawe (dan Ratu Dewi). Pangeran Amir kemudian kembali dan menyerbu Kesultanan Banjar dengan pasukan orang Bugis yang besar pada tahun 1757, dan berusaha merebut kembali tahtanya dari Susuhunan Nata Alam. Karena takut kehilangan tahta dan kekuatiran jatuhnya kerajaan di bawah kekuasaan orang Bugis, Susuhunan Nata Alam meminta bantuan kepada VOC. VOC menerima permintaan tersebut dan mengirimkan Kapten Hoffman dengan pasukannya dan berhasil mengalahkan pasukan Bugis itu. Sedangkan Pangeran Amir terpaksa melarikan diri kembali ke negeri Pasir. Beberapa waktu kemudian Pangeran Amir mencoba pula untuk meminta bantuan kepada para bangsawan Banjar di daerah Barito yang tidak senang kepada Belanda, karena di daerah Bakumpai/Barito diserahkan Pangeran Nata kepada VOC. Dalam pertempuran yang kedua ini Pangeran Amir tertangkap dan dibuang ke Sri Langka pada tahun 1787. Sesudah itu diadakan perjanjian antara Kesultanan Banjar dengan VOC, dimana raja-raja Banjar memerintah kerajaan sebagai peminjam tanah VOC. Dalam tahun 1826 diadakan perjanjian kembali antara Pemerintah Hindia Belanda dengan Sultan Adam, berdasarkan perjanjian dengan VOC yang terdahulu, berdasarkan perjanjian ini, maka Belanda dapat mencampuri pengaturan permasalahan mengenai pengangkatan Putra Mahkota dan Mangkubumi, yang mengakibatkan rusaknya adat kerajaan dalam bidang ini, yang kemudian menjadikan salah satu penyebab pecahnya Perang Banjar.
Perjanjian itu terdiri atas 28 pasal dan ditandatangani dalam loji Belanda di Banjarmasin pada tanggal 4 Mei 1826 atau 26 Ramadhan 1241 H. Selain Sultan Adam al Watsiq Billah, perjanjian itu juga ditandatangani oleh Paduka Pangeran Ratu (Putra Mahkota), Pangeran Mangkubumi, Pangeran Dipati, Pangeran Ahmad dan disaksikan oleh para Pangeran lainnya. Perjanjian inilah yang menjadi dasar hubungan politik dan ekonomi antara Kesultanan Banjar dengan pemerintah Hindia Belanda di Batavia. Dalam perjanjian tersebut Kerajaan Banjar mengakui suzerinitas atau pertuanan Pemerintah Hindia Belanda dan menjadi sebuah Leenstaat, atau negeri pinjaman. Berdasarkan perjanjian ini maka kedaulatan kerajaan keluar negeri hilang sama sekali, sedangkan kekuasaan ke dalam tetap berkuasa dengan beberapa pembatasan dan Residen berperan sebagai agen politik pemerintah kolonial Hindia Belanda. Isi perjanjian 1826 itu antara lain adalah :
1. Kerajaan Banjar tidak boleh mengadakan hubungan dengan lain kecuali hanya dengan Belanda.
2. Wilayah Kerajaan Banjar menjadi lebih kecil, karena beberapa wilayah menjadi bagian dibawah pemerintahan langsung Hindia Belanda. Wilayah-wilayah itu seperti tersebut dalam Pasal 4 :
1. Pulau Tatas dan Kuwin sampai di seberang kiri Antasan Kecil.
2. Pulau Burung mulai Kuala Banjar seberang kanan sampai di Mantuil,
3. Mantuil seberang Pulau Tatas sampai ke Timur pada Rantau Keliling dengan sungai-sungainya Kelayan Kecil, Kelayan Besar dan kampung di seberang Pulau Tatas.
4. Sungai Mesa di hulu kampung Cina sampai ke darat Sungai Baru sampai Sungai Lumbah.
5. Pulau Bakumpai mulai dari Kuala Banjar seberang kiri mudik sampai di Kuala Anjaman di kiri ke hilir sampai Kuala Lupak.
6. Segala Tanah Dusun semuanya desa-desa kiri kanan mudik ke hulu mulai Mangkatip sampai terus negeri Siang dan hilir sampai di Kuala Marabahan.
7. Tanah Dayak Besar-Kecil dengan semua desa-desanya kiri kanan mulai dari Kuala Dayak mudik ke hulu sampai terus di daratan yang takluk padanya.
8. Tanah Mandawai.
9. Sampit
10. Pambuang semuanya desa-desa dengan segala tanah yang takluk padanya
11. Tanah Kotawaringin, Sintang, Lawai, Jelai dengan desa-desanya.
12. Desa Tabanio dan segala Tanah Laut sampai di Tanjung Selatan dan ke Timur sampai batas dengan Pagatan, ke utara sampai ke Kuala Maluku, mudik sungai Maluku, Selingsing, Liang Anggang, Banyu Irang sampai ke timur Gunung Pamaton sampai perbatasan dengan Tanah Pagatan.
13. Negeri-negeri di pesisir timur: Pagatan, Pulau Laut, Batu Licin, Pasir, Kutai, Berau semuanya dengan yang takluk padanya.
3. Penggantian Pangeran Mangkubumi harus mendapat persetujuan pemerintah Belanda.
4. Belanda menolong Sultan terhadap musuh dari luar kerajaan, dan terhadap musuh dari dalam negeri.
5. Beberapa daerah padang perburuan Sultan yang sudah menjadi tradisi, diserahkan pada Belanda. Semua padang perburuan itu dilarang bagi penduduk sekitarnya untuk berburu menjangan. Padang perburuan itu, meliputi :
1. Padang pulau Lampi sampai ke Batang Banyu Maluka
2. Padang Bajingah
3. Padang Penggantihan
4. Padang Munggu Basung
5. Padang Taluk Batangang
6. Padang Atirak
7. Padang Pacakan
8. Padang Simupuran
9. Padang Ujung Karangan
6. Belanda juga memperoleh pajak penjualan intan sepersepuluh dari harga intan dan sepersepuluhnya untuk Sultan. Kalau ditemukan intan yang lebih dari 4 karat harus dijual pada Sultan. Harga pembelian intan itu, sepersepuluhnya diserahkan pada Belanda.
Gambaran umum abad ke-19 bagi Kesultanan Banjar, bahwa hubungan kerajaan keluar sebagaimana yang pernah dijalankan sebelumnya, terputus khususnya dalam masalah hubungan perdagangan internasional. Tetapi kekuasaan Sultan ke dalam tetap utuh, tetap berdautat menjalani kekuasaan sebagai seorang Sultan.
Sistem Pemerintahan
1. Raja : bergelar Sultan/Panambahan/Ratu/Susuhunan
2. Putra Mahkota : bergelar Ratu Anum/Pangeran Ratu/Sultan Muda
3. Perdana Menteri : disebut Perdana Mantri/Mangkubumi/Wazir, dibawah Mangkubumi : Mantri Panganan, Mantri Pangiwa, Mantri Bumi dan 40 orang Mantri Sikap, setiap Mantri Sikap memiliki 40 orang pengawal.
4. Lalawangan : kepala distrik, kedudukannya sama seperti di masa Hindia Belanda.
5. Sarawasa, Sarabumi dan Sarabraja : Kepala Urusan keraton
6. Mandung dan Raksayuda : Kepala Balai Longsari dan Bangsal dan Benteng
7. Mamagarsari : Pengapit raja duduk di Situluhur
8. Parimala : Kepala urusan dagang dan pekan (pasar). Dibantu Singataka dan Singapati.
9. Sarageni dan Saradipa : Kuasa dalam urusan senjata (tombak, ganjur), duhung, tameng, badik, parang, badil, meriam dll.
10. Puspawana : Kuasa dalam urusan tanaman, hutan, perikanan, ternak, dan berburu
11. Pamarakan dan Rasajiwa : Pengurus umum tentang keperluan pedalaman dan pedusunan
12. Kadang Aji : Ketua Balai petani dan Perumahan. Nanang sebagai Pembantu
13. Wargasari : Pengurus besar tentang persediaan bahan makanan dan lumbung padi, kesejahteraan
14. Anggarmarta : Juru Bandar, Kepala urusan pelabuhan
15. Astaprana : Juru tabuh-tabuhan, kesenian dan kesusasteraan.
16. Kaum Mangkumbara : Kepala urusan upacara
17. Wiramartas : Mantri Dagang, berkuasa mengadakan hubungan dagang dengan luar negeri, dengan persetujuan Sultan.
18. Bujangga : Kepala urusan bangunan rumah, agama dan rumah ibadah
19. Singabana : Kepala ketenteraman umum.
Jabatan-jabatan di masa Panembahan Kacil (Sultan Mustain Billah), terdiri :
1. Mangkubumi
2. Mantri Pangiwa dan Mantri Panganan
3. Mantri Jaksa
4. Tuan Panghulu
5. Tuan Khalifah
6. Khatib
7. Para Dipati
8. Para Pryai
• Masalah-masalah agama Islam dibicarakan dalam rapat/musyawarah oleh Penghulu yang memimpin pembicaraan, dengan anggota terdiri dari : Mangkubumi, Dipati, Jaksa, Khalifah dan Penghulu.
• Masalah-masalah hukum sekuler dibicarakan oleh Jaksa yang memimpin pembicaraan dengan anggota terdiri dari Raja, Mangkubumi, Dipati dan Jaksa.
• Masalah tata urusan kerajaan merupakan pembicaraan antara raja, Mangkubumi dan Dipati.
• Dalam hierarki struktur negara, dibawah Mangkubumi adalah Panghulu, kemudian Jaksa. Urutan dalam suatu sidang negara adalah Raja, Mangkubumi, Panghulu, kemudian Jaksa. Urutan kalau Raja berjalan, diikuti Mangkubumi, kemudian Panghulu dan selanjutnya Jaksa. Kewenangan Panghulu lebih tinggi dari Jaksa, karena Panghulu mengurusi masalah keagamaan, sedangkan Jaksa mengurusi masalah keduniaan.
• Para Dipati, terdiri dari para saudara raja, menemani dan membantu raja, tetapi mereka adalah kedua setelah Mangkubumi.
Sistem pemerintahan mengalami perubahan pada masa pemerintahan Sultan Adam Al-Watsiq Billah. Perubahan itu meliputi jabatan :
1. Mufti : hakim tertinggi, pengawas Pengadilan umum
2. Qadi : kepala urusan hukum agama Islam
3. Penghulu : hakim rendah
4. Lurah : langsung sebagai pembantu Lalawangan (Kepala Distrik) dan mengamati pekerjaan beberapa orang Pambakal (Kepala Kampung) dibantu oleh Khalifah, Bilal dan Kaum.
5. Pambakal : Kepala Kampung yang menguasai beberapa anak kampung.
6. Mantri : pangkat kehormatan untuk orang-orang terkemuka dan berjasa, diantaranya ada yang menjadi kepala desa dalam wilayah yang sama dengan Lalawangan.
7. Tatuha Kampung : orang yang terkemuka di kampung.
8. Panakawan : orang yang menjadi suruhan raja, dibebas dari segala macam pajak dan kewajiban.
• Sebutan Kehormatan
o Sultan, disebut : Yang Maha Mulia Paduka Seri Sultan
o Gubernur Jenderal VOC : Tuan Yang Maha Bangsawan Gubernur Jenderal.
o Permaisuri disebut Ratu.
o Putra raja bergelar Raden/Raden Aria - Raden yang senior mendapat gelar Pangeran dan jika menjabat Dipati mendapat gelar berganda menjadi Pangeran Dipati.
o Putri Raja bergelar Gusti (= Raden Galuh pada jaman Hindu) - Gusti yang senior mendapat gelar Putri/Ratu. Belakangan Gusti juga dipakai untuk mengganti gelar Raden.
o Seorang Syarif (bangsawan Arab) yang menikah dengan puteri Sultan akan mendapat gelar Pangeran Syarif, sedangkan puteri Sultan tersebut menjadi isteri permaisuri disebut Ratu Serip (Ratu Syarif)......
Sultan Banjar
Daftar penguasa Banjar (Sultan Banjar).
No. Masa Sultan K e t e r a n g a n
1 1520-1546
Sultan Suriansyah
* Nama kecilnya Raden Samudra, Raja Banjar pertama sebagai perampas kekuasaan yang memindahkan pusat pemerintahan di Kampung Banjarmasih (Kuin) menggantikan Maharaja Tumenggung (Raden Panjang), menurutnya dia ahli waris yang sah sesuai wasiat kakeknya Maharaja Sukarama (Raden Paksa) dari Kerajaan Negara Daha. Dibantu mangkubumi Aria Taranggana. Baginda memeluk Islam pada 24 September 1526. Makamnya di Komplek Makam Sultan Suriansyah dengan gelar anumerta Sunan Batu Habang. Dalam agama lama, beliau dianggap hidup membegawan di alam gaib sebagai sangiang digelari Perbata Batu Habang.
2 1546-1570
Sultan Rahmatullah bin Sultan Suriansyah * Pemerintahannya dibantu mangkubumi Aria Taranggana. Makamnya di Komplek Makam Sultan Suriansyah dengan gelar anumerta Panembahan Batu Putih.

3 1570-1595
Sultan Hidayatullah I bin Sultan Rahmatullah * Pemerintahannya dibantu mangkubumi Kiai Anggadipa. Makamnya di Komplek Makam Sultan Suriansyah dengan gelar anumerta Panembahan Batu Irang. Trah keturunannya menjadi Raja-raja Taliwang dan Sultan-sultan Sumbawa.

4 1595-1638
Sultan Mustain Billah bin Sultan Hidayatullah I * Nama kecilnya Raden Senapati, diduga ia perampas kekuasaan, sebab ia bukanlah anak dari permaisuri meskipun ia anak tertua. Pemerintahannya dibantu mangkubumi Kiai Jayanagara, dilanjutkan sepupunya Kiai Tumenggung Raksanagara. Gelar lain : Gusti Kacil/Pangeran Senapati/Panembahan Marhum/Raja Maruhum dan gelar yang dimasyhurkan Marhum Panembahan. Beliau memindahkan ibukota ke Martapura. Oleh Suku Dayak yang menghayati Kaharingan baginda dianggap hidup sebagai sangiang di Lewu Tambak Raja dikenal sebagai Raja Helu Maruhum Usang. Trah keturunannya menjadi Raja-raja Kotawaringin, Tanah Bumbu dan Bangkalaan.

5 1638-1645
Sultan Inayatullah bin Mustainbillah * Pemerintahannya dibantu adiknya Pangeran di Darat sebagai mangkubumi. Gelar lain : Ratu Agung/Ratu Lama dimakamkan di Kampung Keraton, Martapura. Adiknya, Pangeran Dipati Anta-Kasuma diangkat menjadi raja muda di wilayah sebelah barat yang disebut Kerajaan Kotawaringin

6 1645-1660
Sultan Saidullah bin Sultan Inayatullah
* Nama kecilnya Raden Kasuma Alam. Pemerintahannya dibantu mangkubumi pamannya Panembahan di Darat, dilanjutkan pamannya Pangeran Dipati Anta-Kasuma, terakhir dilanjutkan paman tirinya Pangeran Dipati Mangkubumi (Raden Halit). Gelar lain : Wahidullah/Ratu Anum/Ratu Anumdullah.
7 1660-1663
Sultan Ri'ayatullah/Tahalidullah? bin Sultan Mustainbillah * Nama kecilnya Raden Halit. Menggantikan keponakannya, sebagai Penjabat Sultan dengan gelar dalam khutbah Sultan Rakyatullah (Rakyat Allah). Pemerintahannya dibantu mangkubumi keponakan tirinya Pangeran Mas Dipati. Gelar lain : Pangeran Dipati Tapasena/Pangeran Mangkubumi/Panembahan Sepuh/Tahalidullah/Dipati Halit. Pada tahun 1663 menyerahkan tahta kepada kemenakannya Sultan Amrullah Raden Bagus Kesuma yang merupakan Putra Mahkota anak dari Sultan Saidullah/Ratu Agung.
8 1663
Sultan Amrullah bin Sultan Saidullah * Nama kecilnya Raden Bagus Kasuma. Atas desakan paman tirinya Pangeran Dipati Anom II (Raden Kasuma Lalana) dan suku Biaju kepada Sultan Rakyatullah (Raden Halit) untuk menyerahkan kekuasaan kepadanya. Nama lain : Panembahan Kuning
9 1663-1679
Sultan Agung/Pangeran Suryanata II bin Sultan Inayatullah * Nama kecilnya Raden Kasuma Lalana. Mengkudeta kemenakannya Amirullah Bagus Kasuma dengan bantuan suku Biaju, memindahkan pemerintahan ke Sungai Pangeran (Banjarmasin). Pemerintahannya dibantu mangkubumi sepupunya Pangeran Aria Wiraraja, putera Pangeran Ratu. Sebagai raja muda ditunjuk adik kandungnya, Pangeran Purbanagara. Ia berbagi kekuasaan dengan paman tirinya Pangeran Ratu (Sultan Rakyatullah) yang kembali memegang pemerintahan Martapura sampai mangkatnya pada 1666. Gelar lain : Pangeran Dipati Anom II.
10 1679-1700
Sultan Amrullah/Sultan Tahlilullah (Bagus Kasuma) bin Sultan Saidullah * Sempat lari ke daerah Alay kemudian menyusun kekuatan dan berhasil membinasakan pamannya Sultan Agung/Ratu Lamak beserta anaknya Pangeran Dipati/Ratu Agung (Raja negeri Nagara), kemudian naik tahta kedua kalinya. Saudara tirinya Pangeran Dipati Tuha (Raden Basus) diangkat sebagai Raja negeri Tanah Bumbu dengan wilayah dari Tanjung Silat sampai Tanjung Aru.
11 1700-1717
Sultan Tahmidullah I/Sultan Surya Alam bin Sultan Amrullah * Gelar lain : Panembahan Kuning. Mangkubumi dijabat oleh adiknya Panembahan Kasuma Dilaga
12 1717-1730
Panembahan Kasuma Dilaga bin Sultan Amrullah/Tahlilullah * Sebagai wali Sultan
13 1730-1734
Sultan Hamidullah bin Tahmidullah I * Gelar lain : Sultan Kuning. Panglima perang dari La Madukelleng menyerang Banjarmasin pada tahun 1733
14 1734-1759
Sultan Tamjidullah I bin Sultan Tahlilullah/Sultan Amrullah * Bertindak sebagai wali Putra Mahkota Muhammad Aliuddin Aminullah yang bergelar Ratu Anom yang belum dewasa. Tamjidullah I yang bergelar Sultan Sepuh ini berusaha Sultan Banjar tetap dipegang pada dinasti garis keturunannya. Adiknya Pangeran Nullah dilantik sebagai mangkubumi. Tamjidullah I mangkat 1767.

15 1759-1761
Sultan Muhammadillah/Muhammad Aliuddin Aminullah bin Sultan Hamidullah * Menggantikan mertuanya Sultan Tamjidullah I. Gelar lain : Sultan Aminullah/Muhammad Iya'uddin Aminullah/Muhammad Iya'uddin Amir ulatie ketika mangkat anak-anaknya masih belum dewasa, tahta kerajaan kembali dibawah kekuasaan Tamjidillah I tetapi dijalankan oleh anaknya Pangeran Nata Dilaga sebagai wali Putra Mahkota.
16 1761-1801
Sultan Tahmidullah II/Sultan Nata bin Sultan Tamjidullah I * Semula sebagai wali Putra Mahkota, tetapi mengangkat dirinya sebagai Panembahan Kaharuddin Halilullah. Pemerintahan dibantu oleh Perdana Menteri/mangkubumi Ratu Anom Ismail. Gelar lain : Susuhunan Nata Alam (1772)/Pangeran Nata Dilaga/Pangeran Wira Nata/Pangeran Nata Negara/Akamuddin Saidullah(1762)/Amirul Mu'minin Abdullah(1762)/Sulaiman Saidullah I(1787)/Panembahan Batu (1797)/Panembahan Anom. Mendapat bantuan VOC untuk menangkap Pangeran Amir bin Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah yang menuntut tahta dengan bantuan suku Bugis-Paser yang gagal, kemudian menjalin hubungan dengan suku Bakumpai dan akhirnya ditangkap Kompeni Belanda 14 Mei 1787, kemudian diasingkan ke Srilangka. Sebagai balas jasa kepada VOC maka dibuat perjanjian 13 Agustus 1787 yang menyebabkan Kesultanan Banjar menjadi vazal VOC atau daerah protektorat, bahkan pengangkatan Sultan Muda dan mangkubumi harus dengan persetujuan VOC.
17 1801-1825
Sultan Sulaiman al-Mutamidullah/Sultan Sulaiman Saidullah II bin Tahmidullah II * Mendapat gelar Sultan Muda atau Pangeran Ratu Sultan Sulaiman sejak tahun 1767 ketika berusia 6 tahun. Dibantu oleh adiknya Ratu Anum Mangku Dilaga sebagai mangkubumi dilanjutkan puteranya Pangeran Husin Mangkubumi Nata bin Sultan Sulaiman. Sultan Sulaiman digantikan anaknya Sultan Adam. Trah keturunannya menjadi raja di Kerajaan Kusan, Batoe Litjin dan Poelau Laoet. Hindia Belanda jatuh ke tangan Inggris, tetapi Inggris melepaskan kekuasaannya di Banjarmasin. Kemudian Hindia Belanda datang kembali ke Banjarmasin untuk menegaskan kekuasaannya.
18 1825-1857
Sultan Adam Al-Watsiq Billah bin Sultan Sulaiman al-Mutamidullah * Baginda mendapat gelar Sultan Muda sejak tahun 1782. Pemerintahannya dibantu adiknya Pangeran Noh Ratu Anum Mangkubumi Kencana sebagai mangkubumi dan Pangeran Abdur Rahman sebagai Sultan Muda. Ketika mangkatnya terjadi krisis suksesi dengan tiga kandidat penggantinya yaitu Pangeran Prabu Anom, Pangeran Tamjidullah II dan Pangeran Hidayatullah II, Belanda sebelumnya sudah mengangkat Tamjidullah II sebagai Sultan Muda sejak 8 Agustus 1852 juga merangkap jabatan mangkubumi dan kemudian menetapkannya sebagai sultan Banjar, sehari kemudian Pangeran Tamjidillah II menandatangani surat pengasingan kandidat sultan lainnya pamannya sendiri Pangeran Prabu Anom yang diasingkan ke Bandung pada 23 Februari 1858. Sebelumnya Sultan Adam sudah mengutus surat ke Batavia agar pengangkatan Tamjidullah II dibatalkan. Sultan Adam sempat membuat surat wasiat yang menunjuk cucunya Hidayatullah II sebagai Sultan Banjar penggantinya, inilah menjadi dasar perlawanan segenap bangsawan terhadap Hindia Belanda
19 1857-1859
Sultan Tamjidullah II al- Watsiq Billah bin Pangeran Sultan Muda Abdur Rahman bin Sultan Adam *Pada 3 November 1857 Tamjidullah II diangkat Belanda menjadi Sultan Banjar, padahal ia anak selir meskipun ia sebagai anak tertua dan kemudian Belanda mengangkat Hidayatullah II sebagai mangkubumi. Pengangkatan Tamjidullah II ditentang segenap bangsawan karena menurut wasiat semestinya Hidayatullah II sebagai Sultan karena ia anak permaisuri. Pada 25 Juni 1859, Hindia Belanda memakzulkan Tamjidullah II sebagai Sultan Banjar kemudian mengirimnya ke Bogor.

20 1859-1862
Sultan Hidayatullah II bin Pangeran Sultan Muda Abdur Rahman bin Sultan Adam * Hidayatullah II satu-satunya pemimpin negeri Banjar sesuai wasiat Sultan Adam, sebelumnya sebagai mangkubumi ia diam-diam menjadi oposisi Tamjidullah II, misalnya dengan mengangkat Adipati Anom Dinding Raja (Jalil) sebagai tandingan Raden Adipati Danu Raja yang berada di pihak Belanda/Sultan Tamjidullah II. Perjuangan Hidayatullah II dibantu oleh tangan kanannya Demang Lehman. Ketika mengunjungi Banua Lima, ia dilantik oleh rakyat Banua Lima sebagai Sultan Banjar, dan Pangeran Wira Kasuma sebagai mangkubumi. Pada tanggal 11 Juni 1860, Residen I.N. Nieuwen Huyzen mengumumkan penghapusan Kesultanan Banjar. Hidayatullah II pada 2 Maret 1862 dibawa dari Martapura dan diasingkan ke Cianjur

21 1862
Pangeran Antasari bin Pangeran Masohut bin Pangeran Amir bin Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah * Pada 14 Maret 1862, yaitu setelah 11 hari Pangeran Hidayatullah II diasingkan ke Cianjur diproklamasikanlah pengangkatan Pangeran Antasari sebagai pimpinan tertinggi dalam kerajaan Banjar dengan gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin. Khalifah ini dibantu Tumenggung Surapati sebagai panglima perang. Pusat perjuangan di Menawing, pedalaman Barito, Murung Raya, Kalteng. Dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional, wafat 11 Oktober 1862 di kampung Sampirang, Bayan Begak, Puruk Cahu, karena penyakit cacar. Dimakamkan kembali 11 November 1958 di Komplek Makam Pangeran Antasari, Banjarmasin.

22 1862-1905
Sultan Muhammad Seman bin Pangeran Antasari Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin * Sebagai kepala Pemerintahan Pagustian meneruskan perjuangan ayahnya, Pangeran Antasari melawan kolonial Belanda dengan dibantu kakaknya Panembahan Muda/Gusti Muhammad Said sebagai mangkubumi dan Panglima Batur sebagai panglima perang. Ia melantik menantunya Pangeran Perbatasari bin Pangeran Muhammad Said sebagai Sultan Muda. Ia sempat mengirim Bukhari ke Kandangan untuk mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Muhammad Seman gugur pada 24 Januari 1905 ditembak Belanda yang mengakhiri Perang Banjar dan banyak para pahlawan pejuang yang tertangkap tetapi perlawanan terhadap pemerintah kolonial tetap dilanjutkan oleh Gusti Berakit putera Sultan Muhammad Seman. Negeri Banjar menjadi sepenuhnya di bawah pemerintahan Residen Belanda dilanjutkan Gubernur Haga, Pimpinan Pemerintahan Civil, Pangeran Musa Ardi Kesuma (Ridzie Zaman Jepang), Pangeran Muhammad Noor (Gubernur Kalimantan I), sekarang menjadi Provinsi Kalimantan Selatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar