The Green School

The Green School
Jl. Jatiluhur Bloh H/4 Komplek Baranang Siang Indah

Kamis, 24 Februari 2011

KTSP, Silabus, RPP dan Pendidikan Berkarakter


Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan karakter kuat yang dimiliki oleh seseorang, masyarakat, dan bangsa ditunjukkan dengan akhlak, moral, dan budi pekerti yang baik. Selain itu, kemandirian dan keyakinan diri juga menunjukan karakter kuat yang dibentuk oleh pendidikan berkarakter.
''Yang disebut berkarakter kuat dan baik adalah perseorangan, masyarakat, dan bangsa, adalah mereka yang memiliki akhlak, moral dan budi pekerti yang baik,'' kata Presiden dalam peringatan puncak Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2010, di Istana Negara, Selasa (11/5).
Presiden mengatakan, pendidikan berkarakter sangat penting karena hasilnya adalah semangat optimis dan berpikir positif, sehingga energi yang dibawa adalah energi positif. Menurut Presiden, pendidikan berkarakter juga ditunjukkan dengan sikap ulet, tegar, dan tidak mudah menyerah. Sikap toleran juga akan tercipta dari pendidikan berkarakter itu.
Presiden menginginkan agar reformasi pendidikan bisa terus berjalan. Menurut Presiden, reformasi pendidikan bisa dijalankan dengan dua cara, yakni back to basic dan pengembangan inovasi. ''Back to basic dalam kurikulum, mata ajaran, metodologi, dan bidang lainnya,''
Ada berbagai pertanyaan yang muncul saat kita melihat tawuran pelajar atau mahasiswa. Salah satunya adalah, kenapa orang yang berpendidikan kok malah melakukan tindakan yang tidak terdidik? Apa yang salah dengan pendidikan? Jika ada yang salah dengan pendidikan kita, lalu apa solusinya?
Berbagai seminar, kajian, lokakarya, dan penelitian pun dilakukan oleh para pakar untuk menjawab persoalan tersebut. Berbagai pandangan masyarakat umum pun mengemuka. Benang merah yang dapat ditarik dari persoalan tersebut: karena pendidikan mengutamakan angka-angka akademis semata dan meninggalkan akhlak.
Selain itu, juga tidak adanya sinergisitas antara pendidikan di sekolah dan pendidikan di keluarga. Pendidikan sekolah hanya terjadi di ruang-ruang kelas. Dan selain ruang kelas dirasa bukan ruang pendidikan, akhirnya, pendidikan hanya menempati “pojok” masyarakat kita dan tidak holistik. Pendidikan hanya mengejar angka dan semata menjadi tanggung jawab sekolah. Orangtua yang “memiliki” anak dan hampir 24 jam berinteraksi dengan anaknya, banyak yang merasa tidak perlu mendidiknya di rumah. Benarkah demikian?
Menyadari hal tersebut, dunia pendidikan akhir-akhir ini menyuarakan pendidikan karakter. Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh pun menyampaikan bahwa Presiden SBY mencanangkan Pendidikan Berbasis Karakter pada 2 Mei 2010. Menyambut itu, penerbit Jaring Pena telah menerbitkan buku Pendidikan Berbasis Karakter; Sinergi antara Sekolah dan Rumah dalam Membentuk Karakter Anak. 
Tiga pilar pendidikan berbasis karakter sebagai pijakannya. Ketiga pilar itu memadukan potensi dasar anak yang selanjutnya bisa dikembangkan. Pilar pertama, membangun watak, kepribadian atau moral. Pilar kedua, mengembangkan kecerdasan majemuk. Pilar ketiga, kebermaknaan pembelajaran. Ketiga pilar tersebut ditampilkan dalam “rumah karakter” sebagai bangunan pendidikan berbasis karakter yang meliputi pondasi, tiang, dan atap. Agar ketiga pilar itu kokoh dan berjalan dengan baik, maka perlu ada kontrol, evaluasi, dan perbaikan berkelanjutan.
Pilar pertama mengacu pada perilaku (akhlak) yang mulia, misalnya yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad. Beliau menjadi model atau idola perilaku mulia anak didik, guru, dan orangtua. Pilar kedua mengacu pada prinsip bahwa semua anak itu cerdas. Setiap anak memiliki keunikan dan kecerdasan yang berbeda-beda (multiple intelligence) seperti ditawarkan oleh Prof. Howard Gardner. Kecerdasan masing-masing itulah yang dikembangkan. Ada anak yang cerdas musik, cerdas logik-matematik, cerdas visual-spasial, cerdas kinestetik, cerdas linguistik, cerdas interpersonal, cerdas intrapersonal, dan cerdas natural. Pilar ketiga mengacu pada proses pembelajaran yang bermakna, yaitu yang memberikan nilai manfaat untuk menyiapkan kemandirian anak.
Konsep pendidikan karakter yang digagas juga mensinergikan antara pendidikan di sekolah dan di rumah. Peran orangtua di rumah adalah sama sebagaimana guru di sekolah dalam hal mendidik anak. Kesalingpahaman dan kerjasama dalam mendidik anak menjadi syarat terciptanya pendidikan berbasis karakter. Mengapa? Karena, apalah jadinya jika karakter yang dibangun sekolah diruntuhkan oleh orangtua, atau sebaliknya.
Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. Adapun berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Menurut Tadkiroatun Musfiroh (UNY, 2008), karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia.
Konsep Pendidikan Karakter
Karakter mulia berarti individu memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet/gigih, teliti, berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner, bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat/efisien, menghargai waktu, pengabdian/dedikatif, pengendalian diri, produktif, ramah, cinta keindahan (estetis), sportif, tabah, terbuka, tertib. Individu jug memiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik atau unggul, dan individu juga mampu bertindak sesuai potensi dan kesadarannya tersebut. Karakteristik adalah realisasi perkembangan positif sebagai individu (intelektual, emosional, sosial, etika, dan perilaku).
Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional pada umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaannya).
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai “the deliberate use of all dimensions of school life to foster optimal character development”. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan. Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dalam menyelenggarakan pendidikan harus berkarakter.
Menurut David Elkind & Freddy Sweet Ph.D. (2004), pendidikan karakter dimaknai sebagai berikut: “character education is the deliberate effort to help people understand, care about, and act upon core ethical values. When we think about the kind of character we want for our children, it is clear that we want them to be able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be right, even in the face of pressure from without and temptation from within”.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya.
Menurut T. Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.
Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolut) yang bersumber dari agama yang juga disebut sebagai the golden rule. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar tersebut. Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai karakter dasar tersebut adalah: cinta kepada Allah dan ciptaann-Nya (alam dengan isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, dan kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan. Pendapat lain mengatakan bahwa karakter dasar manusia terdiri dari: dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab; kewarganegaraan, ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan punya integritas. Penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah harus berpijak kepada nilai-nilai karakter dasar, yang selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau lebih tinggi (yang bersifat tidak absolut atau bersifat relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah itu sendiri.
Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian massal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan di kota-kota besar tertentu, gejala tersebut telah sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian peserta didik melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter.
Para pakar pendidikan pada umumnya sependapat tentang pentingnya upaya peningkatan pendidikan karakter pada jalur pendidikan formal. Namun demikian, ada perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka tentang pendekatan dan modus pendidikannya. Berhubungan dengan pendekatan, sebagian pakar menyarankan penggunaan pendekatan-pendekatan pendidikan moral yang dikembangkan di negara-negara barat, seperti: pendekatan perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis nilai, dan pendekatan klarifikasi nilai. Sebagian yang lain menyarankan penggunaan pendekatan tradisional, yakni melalui penanaman nilai-nilai sosial tertentu dalam diri peserta didik.
Berdasarkan grand design yang dikembangkan Kemendiknas (2010), secara psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat dikelompokkan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development) , Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development) yang secara diagramatik dapat digambarkan sebagai berikut.
Kofigurasi Karakter
Para pakar telah mengemukakan berbagai teori tentang pendidikan moral. Menurut Hersh, et. al. (1980), di antara berbagai teori yang berkembang, ada enam teori yang banyak digunakan; yaitu: pendekatan pengembangan rasional, pendekatan pertimbangan, pendekatan klarifikasi nilai, pendekatan pengembangan moral kognitif, dan pendekatan perilaku sosial. Berbeda dengan klasifikasi tersebut, Elias (1989) mengklasifikasikan berbagai teori yang berkembang menjadi tiga, yakni: pendekatan kognitif, pendekatan afektif, dan pendekatan perilaku. Klasifikasi didasarkan pada tiga unsur moralitas, yang biasa menjadi tumpuan kajian psikologi, yakni: perilaku, kognisi, dan afeksi.
Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditegaskan bahwa pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
Perangkat pembelajaran “Silabus, RPP, dan KTSP Berkarakter” bertujuan dalam  pelaksanaan, pembinaan dan pengembangan pendidikan karakter yang diintegrasikan ke dalam mata pelajaran, Guru diharapkan memahami mekanisme pengintegrasian dimensi-dimensi  pendidikan karakter pada mata pelajaran. Dengan pengintegrasian  pendidikan ke dalam mata pelajaran, ke depan secara akumulatif akan terjadi peningkatan mutu pendidikan.
Tiga unsur penting dalam pendidikan karakter adalah keluarga, satuan pendidikan (sekolah), dan masyarakat. Pendidikan yang baik dalam keluarga dan sekolah mestinya didukung lingkungan masyarakat yang baik pula. “Pendidikan dini, termasuk saat anak dalam kandungan dan khususnya dalam keluarga akan memberikan pengaruh yang besar dalam pendidikan karakter anak pada tahap perkembangan kepribadiannya di kemudian hari”, kata Drs Sunaryo M.Pd, pembicara pada sesi pertama.
Menurut Sunaryo, pendidikan karakter memadukan dengan seimbang  empat hal yakni, olah hati, olah pikir, olah rasa, dan olah raga. Olah hati bermakna berkata, bersikap, dan berperilaku jujur. Olah pikir, cerdas yang selalu merasa membutuhkan pengetahuan. Olah rasa artinya memiliki cita-cita luhur, dan olah raga maknanya menjaga kesehatan seraya  menggapai cita-cita tersebut. Dengan memadukan secara seimbang keempat anasir kepribadian itu anak akan mampu menghayati dan membatinkan nilai-nilai luhur pendidikan karakter, jelasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar